Notification

×

Iklan

Iklan

Epidemiolog: Vaksin Kurangi Angka Kesakitan dan Kematian

Rabu, 13 Januari 2021 | 08:19 WIB Last Updated 2021-01-13T01:19:46Z

Epidemiolog Unpad dalam Rakor bersama Gubernur Jabar, organisasi profesi, tokoh agama, hingga masyarakat, dari Gedung Pakuan, Kota Bandung, Selasa (12/1/2021


Bandung.Internationalmedia.id.- Epidemiolog memastikan vaksin dapat mengurangi angka kesakitan atau kematian akibat COVID-19 dalam waktu cepat. Sementara untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity), dibutuhkan waktu lebih dari satu tahun. 

 

Demikian dikatakan epidemiolog Universitas Padjadjaran dr Panji Fortuna Hadisoemarto saat menjadi narasumber dalam Rakor Sub Divisi Komunikasi Publik Satgas Penanganan COVID-19 se- Jawa Barat secara virtual dari Kota Bandung, Selasa (12/1/2021). Tema rakor kali ini “Vaksin Untuk Kita, Jabar Siap Divaksin”.

 

“Yang pasti, paling cepat, adalah vaksin dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,” ujarnya.

 

Dengan angka kesakitan yang berkurang, diharapkan tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit rujukan dan rumah sakit darurat tetap terjaga di level aman. Saat ini tingkat keterisian tempat tidur  di kabupaten/kota sudah di atas 80 persen atau dalam level kritis.

 

“Jika angka kesakitan berkurang, pasien yang dirawat pun berkurang sehingga BOR (bed occupancy rate) tidak akan pernah penuh,” katanya.

 

Menurut Panji, ada pandangan keliru di masyarakat bahwa vaksin dapat membentuk kekebalan kelompok dalam waktu cepat. Lebih keliru lagi, vaksin disamakan dengan obat yang dapat menyembuhkan penyakit COVID-19. “Kekebalan kelompok paling tidak butuh waktu setahun dari sekarang karena harus mencakup 70 persen penduduk,” sebutnya. 

 

Kekebalan kelompok, katanya, tergantung dari tiga keadaan. Pertama, seberapa tinggi penularan setelah vaksinasi. “Vaksin dapat mencegah sakit tapi tidak mencegah penularan. Kalau penularan (masif) terjadi, herd immunity tidak akan terjadi,” ungkapnya.

 

BPOM menyatakan efikasi vaksin Sinovac 65,3 persen. Menurut Panji, efikasi beda dengan efektivitas karena efikasi diukur pada tingkat uji klinis. Dalam kenyataannya, jika seseorang punya penyakit penyerta (komorbid) sangat mungkin efikasi 65,3 persen tidak tercapai. “Mungkin lebih rendah, tidak mungkin lebih tinggi. Tapi yang diharapkan tidak akan menurun terlalu jauh,” katanya. 

 

Keadaan kedua, seberapa lama perlindungan yang diberikan vaksin. Vaksin Sinovac yang akan disuntikkan di Jabar mulai Kamis (14/1/2021), harus diinjeksi ke satu orang dengan dua dosis atau dua kali penyuntikan. Jarak waktu antara penyuntikan pertama dan kedua adalah dua pekan. Vaksin Sinovac baru akan memberi proteksi dua minggu setelah penyuntikan kedua.

 

Ketiga, sebanyak apa cakupan masyarakat yang akan divaksin. Secara nasional orang yang harus divaksin 181,5 juta jiwa. Tahap pertama untuk pekerja di kantor kesehatan berjumlah 1,3 juta jiwa. “Ini baru satu persen saja, sedangkan herd immunity cakupannya harus 70 persen. Jadi masih buruh waktu kurang kebih satu tahun lagi. Tapi untuk mengurangi angka kesakitan, itu pasti,” katanya. 

 

Panji melanjutkan, orang yang positif COVID-19 sebetulnya tidak perlu disuntik vaksin. Tapi tidak menutup kemungkinan orang divaksin tapi ternyata positif COVID-19 tanpa diketahui. “Tapi hingga kini belum ada laporan orang yang demikian mengalami efek samping yang buruk,” ungkapnya.

 

Setelah disuntik vaksin, menurutnya, orang tidak perlu melakukan isolasi mandiri selama dua pekan. “Tapi kan pasti ada yang nanya, kan sudah divaksin kenapa masih pakai masker? Jawab saja, lebih baik dobel perlindungan daripada singel,” ujar Panji.

 

Namun Panji yakin vaksin Sinovac memiliki tingkat keamanan tinggi untuk disuntikkan karena BPOM sudah mengeluarkan izin penggunaan darurat. Apalagi vaksin ini sudah mengantongi sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia.(Ter)

×
Berita Terbaru Update