![]() |
Keramba Jaring Apung di Danau Toba(Foto:ist) |
Samosir.Internationalmedia.id.-Danau Toba, danau vulkanik terbesar di dunia sekaligus ikon budaya dan ekologi Indonesia, kini berada dalam kondisi kritis.
Keistimewaannya sebagai danau oligotrofik yakni danau dengan kadar nutrien rendah dan air yang sangat jernih. Terancam oleh aktivitas budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) yang melampaui daya dukung ekologis.
Hal ini disampaikan Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si, Pegiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia yang tinggal di Samosir dalam keterangan tertulisnya yang diterima Senin(4/8).
Krisis terbaru tercatat pada Juli 2025 di Desa Tanjung Bunga, Kabupaten Samosir, saat terjadi kematian massal ikan nila dalam jumlah besar. Peristiwa ini diduga kuat dipicu oleh menurunnya kadar oksigen terlarut dan akumulasi limbah organik dari KJA, yang membusuk di dasar danau.
Temuan lapangan ini sejalan dengan hasil pengamatan sejumlah akademisi dan lembaga riset, yang melaporkan peningkatan biomassa fitoplankton serta munculnya gas beracun seperti amonia (NH₃) dan hidrogen sulfida (H₂S) akibat proses dekomposisi anaerobik.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa produksi ikan dari KJA di Danau Toba saat ini mencapai sekitar 60.000 ton per tahun—enam kali lipat dari kapasitas maksimal yang direkomendasikan, yakni 10.000 ton per tahun, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional.
Kondisi ini telah memicu proses eutrofikasi, yaitu ledakan pertumbuhan alga yang memperburuk kadar oksigen terlarut dan mengancam kelangsungan hidup ikan-ikan endemik seperti Rasbora tobana (yang dikenal secara lokal sebagai rihitihitihi) dan Neolissochilus thienemanni atau ihan Batak—ikan sakral dalam budaya Batak yang kini semakin langka.
Ini bukan sekadar kehilangan biodiversitas, tetapi juga ancaman nyata bagi penghidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari danau.
Memang benar, sektor KJA (Keramba Jaring Apung)telah memberikan manfaat ekonomi bagi sebagian warga. Namun, berbagai studi independen, termasuk dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menegaskan bahwa pencemaran di Danau Toba berasal dari berbagai sumber: limbah domestik, pertanian, sedimentasi hulu sungai, dan terutama limbah KJA. KJA menjadi sorotan utama karena merupakan aktivitas berizin formal yang secara hukum dapat dikendalikan.
Seruan untuk Aksi Nyata
Menyikapi kondisi darurat ini, Wilmar menyerukan agar pemerintah pusat dan daerah segera mengambil langkah-langkah konkret dan terukur:
1. Menerapkan moratorium sementara terhadap pembangunan KJA baru serta mengevaluasi ulang seluruh izin yang ada berdasarkan data ilmiah dan daya dukung ekologis yang berlaku.
2. Mendorong transisi ke teknologi budidaya berkelanjutan, seperti keramba tertutup, sistem bioflok, atau Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA). Transisi ini harus disertai dengan pelatihan dan insentif agar masyarakat tidak kehilangan mata pencaharian.
3. Menegakkan zonasi ketat dan kuota produksi maksimal 10.000 ton per tahun, sesuai amanat Perpres No. 60/2021.
4. Melibatkan masyarakat lokal dalam pemantauan kualitas air secara berkala, untuk menciptakan partisipasi aktif dalam pengawasan lingkungan dan konservasi danau.
Warisan Ekologis yang Harus Dilindungi
Dr Wilmar menyebutkan, Danau Toba bukan sekadar objek wisata atau sumber ekonomi. Ia adalah warisan ekologis dan budaya yang memiliki nilai strategis bagi masa depan Indonesia. Jika kita tidak bertindak sekarang, yang hilang bukan hanya spesies ikan endemik, tetapi juga identitas ekologis kawasan dan harapan generasi mendatang.
Kini saatnya kita bersatu menjaga Danau Toba agar tetap lestari—bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk selamanya,tutupnya.(*)