Notification

×

Iklan

Iklan

Tele, Awal Peziarahan Ke Aek Natio Dan Kisah Letusan Toba

Jumat, 11 Juli 2025 | 15:36 WIB Last Updated 2025-07-11T08:38:57Z

Oleh : Dr.Wilmar Eliaser Simanjorang, Dipl.Ec.,M.Si

Dalam memahami sejarah Letusan Gunung Api Toba sebagai suatu proses geologi dan budaya yang berkesinambungan, kawasan Tele dan Pangururan menjadi penting untuk dilihat bukan hanya sebagai destinasi wisata, tetapi sebagai ruang edukasi dan refleksi. Keduanya saling terhubung dalam narasi besar tentang letusan, kehidupan, dan jati diri Bangso Batak.

Tele, sebagai titik tertinggi yang menghadap langsung ke Danau Toba, bukan sekadar tempat untuk menikmati panorama. Ia adalah gerbang kontemplatif. Dari sinilah manusia Batak diingatkan akan keterhubungan dirinya dengan alam, sejarah, dan asal-usulnya.

Di sinilah pula dimulai peziarahan spiritual menuju “Aek Natio”—air murni yang dalam pandangan Batak merupakan simbol kehidupan, kesucian, dan harapan. Dalam budaya Batak, air jernih (Aek Sitio-tio) mencerminkan kebersihan batin dan kelimpahan masa depan.

Pandangan dunia Batak ditopang oleh mitologi agraris yang kuat. Hidup diyakini berasal dari penyatuan dua unsur utama: Tanah dan Air, yang diwujudkan dalam tokoh kosmologis:
Boraspati ni Tano: Dewa tanah berbentuk bengkarung
Boru Saniangnaga: Dewi air berbentuk ular naga.

Mitos ini menunjukkan keseimbangan antara maskulin dan feminin, antara daratan dan perairan, antara stabilitas dan dinamika. Inilah pandangan dunia yang terus hidup dalam simbol dan ritus masyarakat Batak.
Di balik keindahan Danau Toba tersimpan jejak geologis dahsyat. Sekitar 74.000 tahun lalu, terjadi salah satu letusan supervulkanik terbesar dalam sejarah bumi: Letusan Gunung Api Toba.

Abu vulkanik menyebar hingga ke India dan Afrika, mengubah iklim global, dan diduga menyusutkan populasi manusia purba hingga ke titik kritis.

Letusan ini adalah puncak dari serangkaian aktivitas vulkanik sejak 1,3 juta tahun lalu, yang terbagi menjadi tiga fase:
1. Pra-Kaldera (1,3 juta – 840.000 tahun lalu)
2. Kaldera (840.000 – 74.000 tahun lalu)
3. Pasca-Kaldera (setelah 74.000 tahun lalu – sekarang)

Jika Tele adalah awal peziarahan, maka Waterfront Pangururan adalah titik pengalaman langsung: tempat di mana manusia menyatu kembali dengan air dan dengan harapan akan masa depan.
Elemen Wisata Edukasi di Waterfront Pangururan:

Air Mancur Musikal: Simbol dinamika dan daya hidup
Solu Bolon: Kapal besar Batak sebagai simbol perjalanan
Patung Boru Saniangnaga & Boraspati ni Tano: Representasi mitologi hidup
Taman Geologi Kaldera Toba: Memperkenalkan evolusi bumi lewat batuan otentik
Wahana Totem Dunia: Representasi hubungan manusia-alam dan budaya dunia.

Solu dan Filosofi Hidup Batak
Dalam filosofi Batak, Solu Bolon bukan sekadar perahu besar. Ia adalah lambang cita-cita dan pencapaian hidup: “Sahat-sahat ni solu, sai sahat ma tu bottean...” (Lancar-lancarlah perjalanan solu, semoga sampai ke pelabuhannya).
Makna ini menjadi sangat relevan di tengah perubahan zaman. Batak bukan bangsa yang tenggelam dalam masa lalu, melainkan terus melaju menuju masa depan.

Tarombo, Pustaha, dan Jati Diri Bangso Batak
Di antara Tele dan Pangururan, kita menemukan Tarombo (silsilah) dan Pustaha (naskah ilmu), dua simbol penting identitas Batak.
Unsur Budaya di Kawasan Ini:

Plaza Tarombo: Visualisasi pohon silsilah Batak
Taman Pustaha: Ruang edukasi budaya dan ilmu tradisional
Puisi Sitor Situmorang: Terukir di batu sebagai suara keindahan dan kebijaksanaan lokal
Interaksi Storytelling di Taman Geologi: Menyampaikan evolusi Kaldera Toba secara aktif dan visual
Sinergi Geopark dan Budaya: Antara Alam, Ilmu, dan Rohani
Kawasan Tele–Pangururan adalah contoh konkret sinergi antara:

Geowisata: Melalui narasi kaldera dan letusan Toba
Budaya: Mitos, tarian, bahasa, dan arsitektur Batak
Sains & Teknologi: Sistem edukasi air bersih dan IPAL ramah lingkungan
Arsitektur & Desain: Penggabungan estetika modern dan simbolisme Batak seperti Skybridge, Totem, dan Galeri Batu.

Kesimpulan

“Dari Letusan, Tercipta Kehidupan. Dari Tele ke Pangururan, Kita Mengenal Jati Diri.”
Tele dan Pangururan bukan sekadar tempat, tetapi narasi hidup. Dari letusan yang menghancurkan, lahirlah danau yang menyatukan. Dari tanah dan air, lahirlah budaya dan peradaban. Dari batuan purba, manusia belajar tentang waktu dan makna. Kawasan ini adalah simfoni antara geologi dan budaya, antara sains dan spiritualitas, antara masa lalu dan masa depan.

(Penulis adalah: Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan)

×
Berita Terbaru Update