Geopark Kaldera Toba bukan sekedar destinasi wisata. Ia adalah laboratorium alam terbuka yang menyimpan kekayaan geologi, warisan budaya Batak, serta potensi alam yang luar biasa. Beberapa geosite unggulan seperti Pusuk Buhit dengan Batu Hobon-nya, Tele dengan panorama magis dari ketinggian, hingga situs megalitik Ambarita di Samosir adalah bukti nyata betapa istimewanya kawasan ini.
Geopark ini telah mendapatkan pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp) pada 7 Juli 2020. Namun, sejak 28 Mei 2024, status ini berada di ujung tanduk setelah UNESCO mengeluarkan “kartu kuning” karena lemahnya implementasi standar pengelolaan geopark. Jika tidak ada perbaikan signifikan, maka pada Desember 2025, Kaldera Toba berisiko kehilangan status prestisius tersebut.
Empat Rekomendasi UNESCO
UNESCO telah empat kali menyampaikan rekomendasi perbaikan sejak tahun 2015, dan puncaknya pada Mei 2024, melalui surat resmi Ref: SC/EES/EG/24/149, yang memuat empat klaster rekomendasi utama:
1.Warisan Geologi dan Interpretasi
Diversifikasi narasi geologi, pelacakan singkapan batuan letusan Toba, serta
penyediaan panel
informasi edukatif menjadi tuntutan utama.
2.Warisan Alam dan Budaya
Integrasi kekayaan budaya dan takbenda ke dalam narasi geopark yang koheren
dan menyeluruh.
3.Visibilitas dan Kemitraan
Peningkatan media sosial, papan informasi multibahasa, hingga sistem branding
yang jelas dan
strategis.
4.Jaringan dan Pelatihan
5.Partisipasi aktif dalam jejaring GGN/APGN dan pelatihan berkelanjutan bagi
pengelola dan
komunitas.
Langkah Pemerintah
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara bersama tujuh kepala daerah di sekitar Danau Toba memang telah menandatangani komitmen bersama pada 30 Juni 2025. Fokusnya pada pemetaan geologi, penguatan warisan budaya, edukasi massal, serta penyelenggaraan event skala nasional dan intrnasional.
Namun, berdasarkan hasil observasi lapangan di 16 geosite selama Mei–Juni 2025, ditemukan berbagai kelemahan struktural dan fungsional:
• Pengelola sempat vakum selama dua tahun.
• Struktur lintas kabupaten belum solid.
• Papan informasi masih minim dan belum memenuhi standar UNESCO.
• Website tidak lengkap, branding lemah, dan koneksi ke jejaring global
belum optimal.
Masih Layakkah
Dengan kondisi riil di lapangan, masih ada jurang besar antara laporan di atas kertas (on paper) dan kondisi nyata di geosite (on site). Dalam pertemuan persiapan revalidasi akhir Juni 2025, Gubernur Sumut tidak menyoroti secara rinci implementasi empat rekomendasi UNESCO. Tujuh bupati pemilik geosite pun belum menunjukkan aksi konkret, terutama dalam hal anggaran, pelibatan masyarakat lokal, serta pemulihan kerusakan lingkungan.
Belum lagi, ancaman ekologis seperti kebakaran hutan, pencemaran Danau Toba, dan kerusakan situs geologi tidak menjadi fokus pembenahan. Badan Pengelola Toba Caldera UGGp sendiri baru aktif kembali menjelang kedatangan tim revalidasi, dan sayangnya, belum terlihat menyusun strategi implementatif yang konkret dan menyeluruh.
Waktu Terus Menyempit.
Pusat Studi Geopark Indonesia (PS-GI) telah menyarankan tujuh langkah utama sebagai roadmap ke depan:
1. Pelestarian 16 geosite utama secara menyeluruh.
2. Edukasi publik, terutama generasi muda.
3. Integrasi konservasi dan kearifan lokal.
4. Pengembangan produk ekonomi kreatif berbasis geoheritage.
5. Pelestarian budaya Batak secara holistik.
6. Penyediaan infrastruktur geowisata yang memadai.
7. Kesejahteraan masyarakat lokal sebagai tolok ukur utama keberhasilan.
Namun, tanpa langkah cepat dan koordinasi nyata lintas sektor, rencana ini akan kembali hanya menjadi dokumen rapi di rak administrasi pemerintahan.
Penutup: Geopark Bukan Sekadar Label Wisata
Geopark adalah filosofi hidup yang mengintegrasikan pelestarian bumi dan kesejahteraan masyarakat. Jika prinsip ini tidak diwujudkan secara nyata di Kaldera Toba, maka pertanyaan besar pun muncul: Apakah Toba Caldera UGGp layak kembali meraih status Green Card pada Desember 2025?
Jawabannya bergantung pada keberanian kita semua—pemerintah, pengelola, akademisi, komunitas lokal, dan sektor swasta—untuk benar-benar memuliakan bumi dan mensejahterakan masyarakat Danau Toba, bukan sekadar memburu status internasional UNESCO GLOBAL GEOPARK.
Penulis adalah: Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS-GI)
.