Kawasan Danau Toba merupakan salah satu geopark nasional yang tidak hanya menyimpan kekayaan geologi dan budaya, tetapi juga menjadi pusat kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di Sumatra Utara. Sayangnya, alih-alih menjadi motor kesejahteraan, kawasan ini menghadapi tekanan ekologis yang semakin berat dari waktu ke waktu.
Aktivitas pembalakan liar, ekspansi industri kayu, serta praktik perikanan yang tidak berkelanjutan telah menyebabkan degradasi lingkungan secara masif. Dampaknya nyata: banjir dan longsor yang berulang, kebakaran hutan musiman, hingga turunnya kualitas air Danau Toba. Lebih jauh lagi, kerusakan ekologis ini menurunkan kualitas hidup masyarakat yang sangat bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya.
Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, saya mengajukan pendekatan triple bottom line: People, Planet, dan Profit sebagai solusi strategis. Namun bukan dengan pendekatan konvensional yang bersifat aditif dan terpisah-pisah, melainkan dengan pendekatan multiplicative process, yakni penanganan ketiga aspek secara serentak dan saling menguatkan.
Menemukan Titik Kritis
Kajian kami menunjukkan sejumlah titik kritis yang menjadi akar dari persoalan berlarut di kawasan Danau Toba:
• Kerusakan ekosistem hutan lindung yang menurunkan fungsi hidrologis, menyebabkan bencana berulang, dan mencemari danau.
• Ketimpangan sosial yang ditandai dengan kemiskinan, terbatasnya akses pendidikan dan layanan dasar.
• Ekonomi lokal yang rapuh, sangat tergantung pada sektor informal dan pariwisata massal tanpa dukungan infrastruktur yang memadai.
• Manajemen kawasan yang lemah, baik dari sisi koordinasi antarlembaga, pengawasan, maupun partisipasi masyarakat.
Jika tidak ditangani secara menyeluruh, kawasan ini akan terus terjebak dalam lingkaran kerusakan dan ketimpangan yang saling memperkuat.
Strategi Multiplikatif untuk Perubahan Sistemik.
Berbeda dengan model pembangunan sektoral yang memisahkan penanganan antara isu ekonomi, lingkungan, dan sosial, pendekatan multiplicative process menawarkan solusi simultan yang bersifat integratif.
Misalnya, pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat dapat digabungkan dengan konservasi lingkungan dan pengembangan ekowisata berbasis budaya. Ini tidak hanya menciptakan pendapatan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis dan nilai sosial.
Strategi ini dapat diwujudkan melalui:
• Pemberdayaan masyarakat lokal lewat UMKM, pertanian organik, serta wisata berbasis komunitas.
• Restorasi hutan lindung, penguatan pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar.
• Pengelolaan limbah terpadu dari industri kayu dan perikanan.
• Digitalisasi promosi pariwisata dan produk lokal untuk membuka akses pasar lebih luas.
• Pembentukan forum koordinasi geopark sebagai wadah sinergi antara pemerintah, masyarakat, swasta, dan akademisi.
Memastikan Tanggung Jawab Negara
Sayangnya, hingga kini, kehadiran negara dalam pengelolaan kawasan Danau Toba belum optimal. Pengawasan lemah, koordinasi minim, dan kebijakan seringkali inkonsisten. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memperkuat satuan tugas khusus yang fokus pada pengelolaan kawasan, perlindungan hutan, serta mitigasi bencana secara berkelanjutan.
Selain itu, insentif kepada komunitas yang berhasil menjaga lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan sosial harus menjadi bagian dari kebijakan afirmatif.
Menuju Danau Toba yang Berkelanjutan
Tidak ada pilihan lain: upaya mencapai kesejahteraan sosial di kawasan Danau Toba harus menjadikan perlindungan lingkungan sebagai fondasi utama. Geopark bukan sekadar label, melainkan komitmen untuk mengelola kekayaan bumi demi masa depan manusia.
Pembangunan yang berkelanjutan tidak dapat berjalan secara parsial. Dengan mengintegrasikan People, Planet, dan Profit melalui pendekatan multiplicative, kawasan Danau Toba dapat ditata kembali sebagai ruang hidup yang lestari dan berkeadilan bagi generasi kini dan mendatang.
(Penulis adalah, Ketua
Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan)