![]() |
Abdul Hadi Wijaya |
Bandung.
Internationalmedia.id.-Wakil Ketua Komisi V DPRD Jabar Abdul Hadi Wijaya
meminta sekolah tidak menahan-nahan hak anak Siswa untuk mengikuti penilaian
tengah semester (PTS) hanya karena orangtua belum melunasi sumbangan pembinaan
pendidikan (SPP) dan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP).
"Hal
itu bertentangan dengan strategi Gubernur dibidang pendidikan, yaitu pendidikan
berkualitas merata dan terjangkau," katanya saat dihubungi lewata telepon selularnya, Senin (14/9/2020).
Terlebih
Kadisdik Jabar era sebelumnya, telah mengeluarkan himbauan terkait hal
tersebut, bahwa sekolah tidak boleh menahan hak anak untuk ikut ujian hanya
karena alasan, orangtua belum melunasi SPP dan DSP.
"Edarannya
waktu Kadisdik Jabar Dijabat Ibu Dewi Sartika," katanya.
Kalau
mereka (pihak sekolah) beralasan yang dilarang itukan, terkait penilaian tengah semester, alasan itu
tidak mendasar.
"Sebab
sesungguhnya himbauan ibu Kadisdik tersebut merata sampai ke PTS, bukan hanya
ujian akhir saja," tambahnya.
Kadisdik
Jabar berani melarang sekolah swasta menahan-nahan hak pendidikan anak. Karena
sesungguhnya ada bantuan dari provinsi untuk sekolah, bantuan untuk siswa yang
berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu (KETM).
Untuk
tahun ini, bantuan SPP bagi siswa KETM nilainya Rp 550 per siswa per tahun.
Bantuan tersebut bisa dicairkan setiap tahun. Namanya bantuan pendidikan
menengah universal (BPMU).
Soal
siswa yang tidak diterima disekolah negeri karena kuotanya sudah habis tetapi
dia punya KETM ada bantuan Rp 2 juta per siswa.
"Memang
satu kali dapatnya," katanya. Tinggal sekolah mendafatarkannya, daftar
pokok peserta didik( dapodik dan lain sebagainya.
Bila
tetap belum menerima dananya, tetapi data-data KETM siswa tersebut bisa
dibuktikan Komisi V DPRD Jabar siap membantu.
"Secara
anggaran, kami dari pemerintah dan dari DPRD Jabar, khususnya komisi V, mencoba
untuk menaikkan terus anggaran-anggaran pendidikan untuk KETM," tegasnya.
Selain
itu, sekolah swasta juga punya kewajiban menyediakan 20 persen bantu di
sekolahnya untuk siswa miskin, agar angka putus sekolah di jabar bisa turun,
dan angka lama sekolah bisa terus meningkat.
Agar
pendidikan yang berkualitas merata dan terjangkau. Bisa terlaksana dengan baik,
butuh kerjasama dengan sekolah-sekolah swasta.
Supaya
tidak ada lagi kasus, anak yang sudah sekolah, tiba-tiba putus sekolah, hanya
karena orangtuanya tidak mampu, orangtuanya tidak bisa mengikuti sistem
pembayaran yang ditetapkan sekolah.
"Itu
sama saja tidak selaras dengan ketentuan gubernur, pendidikan berkualitas
merata dan terjangkau," katanya.
Jika
ada di antara pihak sekolah yang belum paham dengan kebijakan gubernur silahkan
datang ke dewan.
"Dewan
itukan wakil dari semua masyarakat ya. Mangga di komunikasikan ke dewan,
sehingga kita tahu. Bisa bantu. Dalam kebijakan anggaran. Misalnya, sekolah
mengajukan daftar siswa miskin, daftar penunggak. Asal ada datanya, asal bisa
dipertanggungjawabkan. Kita bisa advokasi," imbaunya.
Semua
itu dilakukan, agar tidak ada lagi sekolah yang menghalang-halangi hak anak
untuk belajar, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri, ketentuannya
sendiri.
Kalau
pelarangan itu tetap dilakukan, bagaimana nanti bila orangtua anak tersebut
mengadukan nasibnya ke komnas anak, komnas HAM.
"Kalau
pengaduan sudah dilayangkan, sekolah anak pusing, semua akan pusing. Lebih
bagus kita cari solusinya. Jangan menahan-nahan, itu solusi yang nggak
menyelesaiklan masalah," pungkasnya.
Sebagaimana
diketahui, hari ini siswa SMA/SMK Jawa Barat mulai mengikuti penilaian tengah
semester (PTS). Tetapi, ternyata tidak semua anak bisa mengikuti, aksesnya
terhalangi. Alasannya karena belum bayar SPP dan DSP. Atau SPP dan DSP nya
belum sesuai sistem yang ditetapkan pihak sekolah.(Ter)