Kini, banjir dan longsor bukan lagi cerita lokal. Bukan hanya Indonesia yang merasakannya—negara-negara di Asia, Eropa, Amerika, bahkan kawasan gurun yang dulu hampir tak mengenal hujan ekstrem pun kini mulai tenggelam oleh air.
Longsor terjadi di daerah pegunungan dunia, banjir bandang melanda kota-kota modern yang dianggap kuat dan siap menghadapi apa pun. Fenomena ini bukan kebetulan; ia adalah tanda bahwa alam sedang berubah, dan perubahan itu bukan tanpa sebab.
Kerusakan hutan di satu wilayah dapat memicu perubahan iklim yang efeknya merambat ke seluruh dunia. Ketika hutan Amazon dibabat, ketika hutan Kalimantan dan Papua terbakar, ketika gunung-gunung di Asia Selatan gundul, ketika hutan di Eropa dan Amerika mengering dan terbakar—semuanya saling terhubung. Bumi ini satu tubuh, dan luka di satu bagian akan terasa di seluruh bagian.
Maka ketika banjir besar terjadi di Jerman, ketika hujan ekstrem menghancurkan kota-kota di Cina, ketika longsor meratakan desa-desa di Nepal, ketika gelombang panas ekstrem melanda Kanada, ketika Indonesia tenggelam oleh banjir dari Sumatra hingga Papua—itu bukan sekadar rangkaian bencana alam. Itu adalah pesan global bahwa sistem kehidupan bumi sedang retak.
Lalu pertanyaannya: Apakah semua ini yang disebut sebagai peradaban?
Jika peradaban hanya diukur dari tingginya gedung, lajunya industri, pesatnya teknologi, dan meningkatnya keuntungan ekonomi—maka ya, inilah peradaban itu: peradaban yang membangun sambil merusak, mencipta kemajuan sambil menghancurkan penopang utamanya.
Tetapi jika peradaban diukur dari kemampuan manusia menjaga harmoninya dengan alam, dari kesadaran untuk hidup tidak serakah, dari kebijaksanaan menggunakan sumber daya tanpa menghabiskannya—maka apa yang kita lihat hari ini bukanlah peradaban.
Yang kita lihat adalah krisis peradaban.
Sebab peradaban yang sejati tidak membiarkan:
• sungai-sungai berubah menjadi jalur banjir
• lembah dan hulu menjadi sumber longsor
• kota-kota modern tenggelam karena saluran airnya tak mampu lagi menahan curah hujan
• petani kehilangan sawah, nelayan kehilangan laut
• generasi muda mewarisi bumi yang lebih sakit dari generasi sebelumnya.
Peradaban bukanlah deretan mesin, gedung, dan angka ekonomi. Peradaban adalah kemampuan manusia merawat bumi tempatnya hidup.
Ketika seluruh dunia mulai merasakan konsekuensi yang sama—banjir di negara kaya dan miskin, longsor di negara maju maupun berkembang—maka jelas bahwa masalah ini bukan lokal, melainkan global. Dan global berarti menyentuh inti manusia sebagai penghuni planet, bukan hanya sebagai warga negara.
Jika keadaan ini terus dibiarkan, sejarah mungkin akan menulis bahwa manusia pernah memiliki peradaban, tetapi merusaknya sendiri.
Dan pada akhirnya, alam tidak marah—alam hanya merespons. Kitalah yang memulai, kitalah yang menuai.*
Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) / Penggiat Lingkungan