![]() |
Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang |
Samosir.Internationalmedia.id.- “Saya tak pernah retire (pension) untuk Danau Toba, justru terus menyalakan kembali (refire) demi masa depan geopark yang berdaulat dan berkelanjutan.”
Pernyataan itu disampaikan Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI), dalam wawancara eksklusif dengan International Online, usai Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TCUGGp) meraih kembali Green Card dari UNESCO di Chili, serta Silver Award dalam ajang Geopark Smart Tourism oleh Asian Development Bank (ADB) di Korea Selatan, tahun 2025.
Namun bagi Wilmar, dua capaian tersebut bukan puncak keberhasilan, melainkan “cambuk kehormatan” yang harus menggugah kesadaran semua pihak untuk beraksi nyata, bukan berhenti di seremoni.
“Green Card bukan prestasi akhir. Itu hanya pengingat bahwa kita sempat lalai. Jadi kalau kita kembali berpuas diri, jangan salahkan UNESCO kalau suatu saat kita kembali jatuh,” tegasnya.
Jangan Hanya Sibuk Saat Tim Asesor Datang
Wilmar melontarkan kritik keras kepada budaya "dadakan geopark" yang kerap terjadi menjelang kunjungan tim penilai internasional.
“Setiap kali tim asesor datang, semua tiba-tiba sibuk: geosite diperbaiki kilat, papan nama diganti, seremoni digelar. Semua mendadak jadi pahlawan geopark. Tapi begitu tim pulang, hilang semua kebisingan—yang tersisa hanya sunyi, kerusakan, dan derita kawasan Danau Toba yang kian menyayat hati,” ucapnya dengan nada prihatin.
Ia menyebut bahwa kondisi beberapa geosite dalam bulan-bulan terakhir ini justru makin terdegradasi—baik karena pembangunan tanpa kendali, aktivitas tambang ilegal, maupun alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan nilai geoheritage.
Dorong Geosite Bernyawa, Bukan Sekadar Nama
Wilmar mendesak Badan Pengelola Toba Caldera UGGp (BP TC UGGp) segera menciptakan prototipe geosite bernyawa, yang benar-benar merepresentasikan filosofi geopark: konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat.
“Saya dorong dimulai dari dua titik: Bukit Holbung dan Perkampungan Sigulatti, kampung leluhur Siraja Batak harus dengan matang ditumbuh kembangkan basis geopark sejati. Harus dibangkitkan dan diberi roh pusat informasi geopark, porlak etnobotani Batak, dan program edukasi langsung—bukan sekadar narasi kosong di PowerPoint,” katanya.
Menurutnya, dua lokasi ini bisa menjadi leverage (manfaat) awal untuk membuktikan bahwa geopark bukan hanya konsep, tapi bisa menjadi wajah pembangunan yang membumi dan membangun.
Seruan Tindak Lanjut Nyata
Wilmar juga menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk merealisasikan langkah-langkah konkrit, bukan sekadar wacana. Beberapa pihak yang menurutnya harus segera bergerak bersama, antara lain:
• Gubernur Sumatera Utara, sebagai pengambil keputusan anggaran dan arah kebijakan daerah,
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
• Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
• Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
• serta masyarakat lokal dan pemilik geosite.
“Semua pihak harus keluar dari ruang nyaman. Jangan tunggu anggaran pusat atau proyek luar negeri baru mau bergerak. Waktu tidak menunggu. Masyarakat, pelaku geowisata, bahkan anak-anak sekolah harus jadi bagian dari gerakan pelestarian ini,” katanya.
Tutup Seminar, Buka Aksi
Di akhir wawancara, Wilmar menyampaikan pernyataan tegas yang menggugah:
“Sudahi seminar yang tak berujung. Tutup spanduk, buka aksi. Toba tidak butuh lebih banyak promosi geopark, tetapi lebih banyak tapak kaki di geosite—yang bekerja, menanam, mengedukasi, dan menjaga dengan hati.”
“Danau Toba bukan lagi butuh janji. Ia butuh pelindung sejati.”(*)