Notification

×

Iklan

Iklan

Mendidik Manusia dalam Era AI

Kamis, 30 Oktober 2025 | 11:36 WIB Last Updated 2025-10-30T04:36:06Z

Oleh: Dr Wilmar Eliaser Simandjorang

Di tengah derasnya arus teknologi dan kecerdasan buatan (AI) yang kini merambah ruang-ruang belajar kita, dunia pendidikan dihadapkan pada pertanyaan yang semakin filosofis: apakah tujuan sejati pendidikan hanyalah mencetak manusia yang pintar secara digital, atau membentuk manusia yang bermoral dan berhikmat?

Pertanyaan ini membawa saya kembali kepada pemikiran klasik dari John Locke (1632–1704) — seorang filsuf Inggris yang gagasan pendidikannya tetap relevan di abad ke-21. 

Melalui dua karyanya yang monumental, Some Thoughts Concerning Education (1693) dan An Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke menegaskan bahwa pendidikan sejati bukanlah transmisi pengetahuan semata, melainkan pembentukan karakter, penalaran moral, dan kebijaksanaan hidup.

Karakter Sebagai Fondasi Kemanusiaan

Bagi Locke, pendidikan dimulai dari pembentukan karakter. Ia menulis bahwa kebajikan merupakan kebutuhan pokok manusia, karena tanpa kebajikan tidak ada kebahagiaan yang sejati.

“Virtue is the most necessary for all people; for without that, there can be no true happiness.” “Kebajikan adalah hal terpenting bagi semua orang; karena tanpanya, kebahagiaan sejati takkan terwujud.”

Locke menekankan pentingnya penguasaan diri (self-government) — kemampuan menundukkan keinginan dan menimbangnya dengan akal sehat. Anak-anak perlu dilatih sejak dini untuk menunda kepuasan sesaat demi kebaikan yang lebih besar di masa depan.

Dalam konteks Indonesia yang sedang beradaptasi dengan revolusi digital, gagasan ini menjadi sangat relevan. Dunia maya memberikan kebebasan tanpa batas, tetapi juga membuka ruang bagi penyimpangan etika. Karena itu, pendidikan kita tidak cukup hanya mengajarkan literasi digital, tetapi juga harus menumbuhkan literasi moral dan spiritual.

Disiplin yang Rasional, Bukan Kekerasan

Locke menentang keras praktik pendidikan yang keras dan menakutkan. Ia berkeyakinan bahwa disiplin sejati tidak tumbuh dari rasa takut, melainkan dari penalaran yang sehat.

Pendidikan, menurut Locke, harus membangkitkan rasa ingin tahu alami anak, bukan menindasnya. Belajar perlu dibuat menyenangkan dan dialogis — bukan kaku dan penuh tekanan. 

Dalam era kecerdasan buatan, di mana proses belajar sering bergantung pada algoritma dan sistem evaluasi digital, pesan Locke ini menjadi pengingat penting agar pendidikan tetap berpusat pada manusia (human-centered learning), bukan pada angka.

Antara Tabula Rasa dan Pandangan Kristen tentang Natur Manusia
Locke dikenal luas karena konsep tabula rasa, atau “lembaran kosong”.
“Let us suppose the mind to be, as we say, white paper, void of all characters… from EXPERIENCE.”
(An Essay Concerning Human Understanding, Book II, Chapter I, §2).

Menurutnya, manusia lahir tanpa pengetahuan bawaan; seluruh ide dan pemahaman diperoleh melalui pengalaman — baik dari pancaindera maupun refleksi pikiran. Gagasan ini menjadi dasar pandangan empiris dalam pendidikan modern: bahwa anak belajar melalui pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Namun, dari sudut pandang pendidikan Kristen, pandangan Locke ini tidak sepenuhnya dapat diterima secara teologis. Alkitab mengajarkan bahwa manusia tidak dilahirkan netral, melainkan telah membawa natur dosa sejak dalam kandungan (Mazmur 51:7). Seorang anak tidak perlu diajari berbohong atau mementingkan diri sendiri — ia akan melakukannya secara alami karena natur dosa yang diwarisi sejak kejatuhan manusia pertama.

Dengan demikian, jika Locke menekankan pengisian tabula rasa melalui pengalaman moral yang baik, maka pendidikan Kristen menambahkan satu dimensi yang lebih dalam: pembaruan hati melalui Injil Kristus.

Anak bukan hanya perlu diajarkan kebenaran, tetapi juga diperbaharui oleh kebenaran itu.

Maka, pendidikan moral yang sejati tidak cukup bersandar pada rasionalitas atau pengalaman semata, tetapi harus berpijak pada kebenaran etika dan kasih yang bersumber dari Kristus.

“Didikan yang sejati bukan hanya menuntun akal menuju kebenaran, tetapi membentuk hati agar mencintai kebenaran itu.” (Refleksi penulis, mengadaptasi semangat Locke dalam terang Injil Kristus).

Tubuh, Pikiran, dan Roh: Pendidikan yang Holistik
Locke percaya bahwa tubuh dan pikiran saling terkait. Ia menulis,
“A sound mind in a sound body is a short but full description of a happy state in this world.”
(Some Thoughts Concerning Education, §1).

Dalam pandangan Kristen, keseimbangan ini diperluas menjadi tubuh, pikiran, dan roh.

Pendidikan bukan hanya soal kebugaran jasmani dan ketajaman intelektual, tetapi juga soal kedewasaan rohani — bagaimana seseorang hidup dalam hubungan yang benar dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri.

Mendidik Manusia, Bukan Sekadar Pengguna AI

Jika Locke hidup di zaman sekarang, ia mungkin akan memperingatkan kita agar tidak terjebak dalam obsesi menciptakan manusia yang secerdas mesin, sambil melupakan bagaimana menjadi manusia yang berhati nurani.

AI dapat mengolah data lebih cepat dari manusia, tetapi tidak dapat memahami makna, belas kasih, atau kebenaran moral. Inilah sebabnya mengapa pendidikan di Indonesia harus berfokus pada pembentukan karakter dan spiritualitas, agar generasi muda tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga menguasai diri.

Locke menulis,
“Education is the great instrument of human improvement.” (Some Thoughts Concerning Education, §1).

Namun bagi saya, dalam terang iman Kristen, pendidikan bukan sekadar alat perbaikan manusia — melainkan wadah penebusan dan pembentukan karakter Kristus dalam diri manusia.
Dalam menyongsong era AI, kita harus belajar dari Locke — namun juga melampauinya.

Kita menerima semangatnya yang menekankan rasionalitas, pengalaman, dan pembentukan karakter, tetapi kita menambahkan dasar moral dan spiritual yang bersumber dari Injil.

Pendidikan masa depan Indonesia tidak boleh kehilangan wajah kemanusiaan.Kita tidak sedang mendidik algoritma, tetapi jiwa-jiwa yang hidup — anak-anak yang akan tumbuh menjadi manusia yang cerdas, bermoral, dan mengasihi.

Mungkin inilah saatnya kita memperbarui definisi pendidikan nasional:bukan sekadar “mencerdaskan kehidupan bangsa”, tetapi juga menyucikan hati bangsa melalui nilai-nilai kebenaran dan kasih Kristus.

(Penulis adalah seorang Akademisi dan Birokrat, penjabat Bupati Samosir  tahun 2004 - 2005).

×
Berita Terbaru Update