Lima tahun setelah Danau Toba ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp), kawasan yang menyimpan jejak letusan supervulkanik terbesar di dunia itu belum sepenuhnya dikelola secara ilmiah. Dari 16 geosite resmi yang tersebar di enam kabupaten, belum satu pun memiliki kehadiran aktif dari tenaga geoscientist atau ahli geologi di lapangan.
Satu-satunya manajer konservasi berlatar belakang geologi tercatat masih berkantor di Medan, tanpa kegiatan terprogram dan terstruktur di kawasan geosite. Keterlibatan masyarakat lokal sebagai mitra konservasi pun masih terbatas. Akibatnya, banyak situs geologi bersejarah di kawasan Toba lebih dikenal sebagai latar swafoto ketimbang laboratorium alam terbuka yang edukatif.
Potensi Besar, Pengelolaan Minim
Kaldera Toba merupakan kaldera raksasa hasil letusan dahsyat sekitar 74.000 tahun silam. Letusan itu membentuk danau raksasa sepanjang sekitar 100 kilometer dan lebar 30 kilometer, serta menciptakan Pulau Samosir sebagai bagian dari proses pengangkatan magma (resurgent dome) yang sangat langka.
Geopark Kaldera Toba adalah aset geologi kelas dunia. Tidak banyak tempat di muka bumi yang menyimpan rekaman letusan sebesar Toba. Oleh karena itu, UNESCO menetapkan kawasan ini sebagai UGGp dengan syarat bahwa konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dilakukan secara terpadu berbasis ilmu geosains.
Namun, berdasarkan pengamatan lapangan dan studi Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI), sebagian besar geosite belum dilengkapi papan informasi ilmiah. Narasi interpretatif berbasis riset belum tersedia, dan aktivitas edukasi geologi masih bersifat insidental.
Bencana Tak Terjelaskan
Minimnya kehadiran geoscientist di geosite menjadi nyata saat terjadi semburan lumpur dan gas berbau belerang di Desa Rianiate, Kabupaten Samosir, pada akhir Juli lalu. Fenomena ini memicu kepanikan warga karena belum ada penjelasan ilmiah langsung dari tenaga ahli di lapangan. Dugaan sementara menyebutkan adanya jalur fluida geotermal aktif di bawah permukaan.
Di Geosite Pusuk Buhit dan Tele, kebakaran hutan kembali terjadi pada 2025, menghanguskan lebih dari 150 hektare lahan. Padahal kawasan ini merupakan bentang alam vulkanik penting yang memiliki nilai spiritual bagi masyarakat Batak dan menyimpan keanekaragaman hayati endemik. Namun, belum ada studi geologi pascabencana yang dilakukan secara sistematis.
Masyarakat patut khawatir. Struktur tanah dan batuan di lereng berisiko mengalami keretakan atau pelapukan karena paparan panas berulang. Sayangnya, hingga kini belum ada tim ilmiah yang turun melakukan kajian pemulihan.
Revalidasi UNESCO dan Kegiatan Seremonial
Pada akhir Juli 2025, tim asesor UNESCO telah melakukan revalidasi langsung di kawasan Geopark Kaldera Toba. Revalidasi ini merupakan tindak lanjut dari yellow card atau peringatan yang dikeluarkan secara resmi pada 2024, yang menyoroti lemahnya interpretasi geologi, rendahnya keterlibatan ilmuwan, serta belum terbentuknya jejaring kerja pentahelix secara nyata.
Namun, berbagai kegiatan yang dilakukan menjelang kehadiran tim UNESCO terkesan hanya bertujuan mengejar status “kartu hijau”. Penanaman pohon dilakukan secara masif—bahkan di tengah musim kemarau panjang—tanpa pertimbangan ekologis yang memadai. Kegiatan edukasi dan seminar digelar beruntun, namun dampaknya belum menyentuh desa-desa tempat geosite berada.
Banyak papan nama dan panel interpretatif baru didirikan hanya beberapa minggu menjelang kedatangan asesor. Demikian pula dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dan pengumuman kemitraan yang belum jelas implementasinya di lapangan. Masyarakat lokal, yang seharusnya menjadi aktor utama geopark, justru belum merasakan manfaat nyata dari semua kegiatan ini.
Mendesak: Sains yang Membumi
Kementerian ESDM, Badan Pelaksana Toba Caldera UNESCO Global Geopark (BP TC UGGp), dan pemerintah daerah perlu segera menugaskan tim geoscientist yang bekerja langsung di seluruh geosite. Peran mereka antara lain:
• Melakukan pemetaan ulang geosite dan zonasi risiko geologi
• Menyusun narasi interpretatif untuk kepentingan edukasi dan geowisata
• Melatih masyarakat lokal dalam pengembangan geowisata berbasis sains
• Menyusun sistem pemantauan bencana geologi dan kebakaran
• Melaksanakan restorasi tanah dan ekosistem pascabencana
Tanpa itu, kawasan Toba hanya akan menjadi lokasi wisata biasa, kehilangan substansi ilmiah yang menjadi dasar pengakuan UNESCO.
Kembali ke Akar: Ilmu, Budaya, dan Masyarakat.
Danau Toba bukan hanya pusat geologi, tetapi juga bagian dari kosmologi dan budaya Batak. Oleh karena itu, pengelolaan geopark harus mengintegrasikan pendekatan geosains, antropologi, dan pariwisata secara harmonis.
Warisan geologi tidak bisa dijaga hanya dengan spanduk, brosur, atau acara seremonial. Diperlukan kehadiran nyata para ahli yang mampu menjelaskan dan merawat Toba secara ilmiah—dengan bahasa rakyat, namun bermuatan sains.
(Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI).