Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Abu Kebakaran Hutan dan Lahan Mengalir ke Danau Toba

Rabu, 06 Agustus 2025 | 08:27 WIB Last Updated 2025-08-06T01:27:03Z

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si

Danau Toba adalah salah satu keajaiban alam Indonesia yang sangat berharga, tidak hanya bagi Sumatera Utara, tapi juga bagi seluruh bangsa. Danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara ini selama berabad-abad telah menjadi sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat yang tinggal di sekitarnya, sekaligus ikon wisata yang mendunia. 

Namun, di balik keelokan panorama dan danau yang tenang, tersimpan ancaman serius yang jarang disadari oleh banyak pihak, yaitu abu kebakaran hutan yang terbawa oleh air hujan ke dalam danau.

Kawasan Danau Toba saat ini menghadapi sebuah lingkaran setan yang saling berkaitan dan berulang. Siklus bermula dari penebangan kayu hutan alam yang masif, yang menyebabkan berkurangnya kemampuan kawasan tersebut dalam menyimpan air di dalam tanah. 

Akibatnya, curah hujan di wilayah ini pun menurun, memicu terjadinya musim kemarau panjang dan kondisi kering yang ekstrim. Kondisi tersebut kemudian menjadi pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang menghasilkan abu gosong dan asap pekat dalam jumlah besar.

Ketika musim hujan tiba dan berlangsung dengan intensitas tinggi, air hujan yang turun membanjiri wilayah ini dan menyebabkan runoff — aliran air permukaan yang membawa abu hasil kebakaran ke sungai-sungai kecil dan akhirnya bermuara ke Danau Toba.

Abu kebakaran ini membawa berbagai zat kimia berbahaya, yang berpotensi mencemari air danau dan mengganggu ekosistem serta kesehatan masyarakat yang bergantung pada danau tersebut. Jika siklus ini terus berulang tanpa penanganan serius, maka kondisi lingkungan di Kawasan Danau Toba akan semakin memburuk dan memperparah risiko kesehatan, kerusakan ekologis, serta menurunnya kualitas hidup masyarakat.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tanpa intervensi dari pemerintah dan kesadaran kolektif masyarakat, terutama yang bermukim di sekitar Danau Toba, masalah ini tidak akan terselesaikan. Diperlukan sebuah metanoia lingkungan atau pertobatan lingkungan, yakni perubahan paradigma dan perilaku secara menyeluruh yang mengakui bahwa Kawasan Danau Toba adalah rumah kita bersama, yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya demi keberlangsungan generasi mendatang.

Selain lingkaran setan tersebut, ancaman langsung yang muncul pasca kebakaran adalah hilangnya pohon-pohon yang selama ini berperan penting sebagai penghasil oksigen dan penyimpan air. Hilangnya pohon berarti hilangnya sumbangan oksigen untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Ini menjadi tambahan tekanan lingkungan di kawasan tersebut, yang kemudian berpotensi memperparah pemanasan lokal dan memperburuk kondisi iklim mikro.

Selama ini, masyarakat dan bahkan sebagian pihak pemerintah menganggap bahwa bahaya kebakaran hutan hanya terjadi saat api sedang membakar hutan dan lahan. Padahal, fakta lapangan dan hasil penelitian menunjukkan bahwa ancaman terbesar justru muncul setelah api padam, saat musim hujan mulai turun. 

Abu gosong hasil kebakaran, yang mungkin tampak ringan dan sepele, mengandung berbagai bahan kimia berbahaya seperti karbonat, nitrat, fosfat, dan logam berat seperti aluminium, arsenik, dan merkuri. Ketika hujan pertama turun, abu ini dengan mudah terbawa air dan mengalir ke sungai-sungai kecil sebelum akhirnya bermuara ke Danau Toba.

Perubahan ini menyebabkan kualitas air Danau Toba mengalami gangguan signifikan. Abu dan zat kimia yang masuk menyebabkan peningkatan pH air menjadi lebih basa, serta lonjakan nutrien yang memicu ledakan ganggang (algal bloom). Ledakan ganggang ini bukan hanya mengurangi oksigen terlarut dalam air, tetapi juga dapat menghasilkan racun berupa cyanotoxin yang berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup lain di ekosistem danau. Akibatnya, meski air terlihat jernih, kualitas air tersebut sebenarnya sudah tercemar dan berpotensi menimbulkan iritasi kulit, gangguan pencernaan, hingga risiko kesehatan jangka panjang jika air itu digunakan terus-menerus.

Dampak dari pencemaran ini sangat nyata dirasakan oleh masyarakat di sekitar Danau Toba. Mayoritas warga masih menggunakan air danau untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan memasak. Setelah musim kemarau yang disertai kebakaran hutan, kualitas air danau menurun dan tidak lagi aman untuk digunakan secara langsung. 

Kontaminan kimia yang masuk ke dalam rantai makanan melalui ikan yang hidup dan ditangkap di danau menambah risiko kesehatan masyarakat. Banyak warga yang melaporkan kasus ikan mati mendadak, kulit gatal setelah mandi, dan perubahan rasa air yang tidak biasa. Keluhan tersebut bukan sekadar persepsi, karena berbagai studi di Korea Selatan, Portugal, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa limpasan abu kebakaran dapat memberikan dampak ekologis yang berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Tidak hanya masyarakat lokal yang terdampak, industri pariwisata di sekitar Danau Toba pun menghadapi tantangan berat. Banyak hotel, restoran, dan homestay yang selama ini mengandalkan air danau untuk operasional sehari-hari harus berhadapan dengan kualitas air yang menurun. Jika wisatawan merasakan adanya masalah pada kualitas air, hal ini dapat merusak citra Danau Toba sebagai destinasi wisata unggulan nasional dan internasional, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi masyarakat luas.

Menghadapi ancaman serius ini, langkah-langkah nyata harus segera dilakukan dan melibatkan semua pihak. Pertama, perlu ada monitoring kualitas air secara berkala, terutama pasca hujan pertama setelah musim kebakaran. Pemeriksaan parameter penting seperti pH, konduktivitas, kandungan logam berat, dan nutrien harus dilakukan secara rutin agar dampak pencemaran dapat segera diketahui dan ditangani.
Kedua, pembangunan infrastruktur pengendali abu dan sedimen perlu diprioritaskan, seperti membuat check dam, kanal bioswale, dan jalur sekat api (firebreak) di wilayah hulu dan daerah tangkapan air. Infrastruktur ini dapat mengurangi aliran abu dan zat pencemar yang langsung masuk ke sungai dan danau.

Ketiga, revegetasi atau penanaman kembali pohon lokal dan semak di area yang terbakar harus dilakukan dengan cepat dan massif. Vegetasi ini berperan sebagai penyaring alami yang menahan sedimen dan zat kimia, sekaligus memperbaiki kondisi tanah dan mencegah erosi.

Keempat, edukasi kepada masyarakat dan pelaku sektor wisata sangat penting agar mereka memahami risiko penggunaan air danau pasca kebakaran. Penggunaan filter air atau sumber air alternatif sementara waktu perlu disosialisasikan untuk mencegah dampak kesehatan.

Kelima, pembentukan satgas respon cepat yang melibatkan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), kelompok adat, pemuda desa, serta pelaku pariwisata akan mempercepat penanganan pencemaran dan memberikan solusi tepat waktu di lapangan.

Terakhir, pemerintah daerah perlu merumuskan kebijakan adaptif yang mengacu pada praktik-praktik terbaik dari negara lain, seperti Porter-Cologne Water Quality Act di California, yang mengatur pengelolaan kualitas air secara sistematis dan berbasis sains.

Danau Toba adalah sumber kehidupan sekaligus identitas bagi masyarakat Sumatera Utara. Ketika danau ini tercemar, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh nelayan atau pelaku wisata, tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika kita mengabaikan ancaman abu kebakaran hutan yang mengalir ke danau, kita sama saja mempertaruhkan keberlangsungan hidup dan martabat daerah ini.

Oleh karena itu, perlindungan Danau Toba harus menjadi prioritas bersama. Jangan sampai kita baru bertindak setelah kerusakan terjadi. Mari mulai dari sekarang berkomitmen menjaga kebersihan dan kesehatan Danau Toba, demi generasi mendatang yang berhak menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam ini secara berkelanjutan.

(Penulis Adalah, Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia).

×
Berita Terbaru Update