Kaldera Toba adalah lanskap geologi langka, saksi sejarah bumi yang sekaligus menjadi ruang hidup budaya Batak selama ribuan tahun. Sebagai kawasan yang telah menyandang status UNESCO Global Geopark, seharusnya pengelolaan Toba menjelma menjadi contoh praktik keberlanjutan yang berpihak pada lingkungan, budaya, dan masyarakat.
Namun, seperti yang disoroti oleh Jannus TH Siahaan dalam opini “Topeng Pembangunan Kaldera Toba demi Status Geopark UNESCO” (Kompas, 7 Agustus 2025), realitas pengelolaan Geopark Toba memperlihatkan ketegangan antara semangat pelestarian dan dorongan politisasi pembangunan.
Kritik tersebut menjadi pengingat penting, namun dalam upaya membangun diskursus ilmiah dan konstruktif, penting pula menghadirkan analisis yang lebih mendalam dengan pendekatan yang utuh dan sistematis.
Tulisan ini mencoba menyikapi persoalan Geopark Toba secara ilmiah dan obyektif melalui tiga pisau analisis mendasar: ontologi, epistemologi, dan aksiologi geopark.
1. Ontologi: Kaldera Toba sebagai Warisan Hidup, Bukan Objek Politik
Ontologi membahas tentang “apa yang ada”—yakni hakikat keberadaan Kaldera Toba sebagai geopark. Dalam perspektif ontologis, Kaldera Toba tidak semata-mata adalah produk geologi berupa danau vulkanik terbesar di dunia, tetapi juga sistem hidup yang menyatukan geodiversity, biodiversity, dan cultural diversity.
Sayangnya, dalam praktik, pendekatan pembangunan masih cenderung mereduksi Kaldera Toba menjadi objek wisata dan komoditas politik. Event-event seremonial, proyek mercusuar, dan narasi geopark dalam laporan pemerintahan lebih banyak menekankan citra luar daripada substansi dalam. Warisan ini kerap diposisikan sebagai panggung simbolik demi status internasional, bukan sebagai ruang hidup yang harus dijaga oleh dan untuk masyarakat.
Padahal, Kaldera Toba adalah living landscape—ruang negosiasi antara manusia, alam, dan nilai-nilai luhur budaya Batak. Ketika aspek ini dilupakan, maka geopark tidak lagi hidup, melainkan sekadar properti birokrasi dan proyek.
2. Epistemologi: Siapa yang Memproduksi dan Menguasai Pengetahuan tentang Geopark?
Epistemologi menyentuh bagaimana pengetahuan tentang Geopark Toba dikonstruksi, disebarluaskan, dan dipahami. Dalam idealnya, pengetahuan geopark haruslah inklusi, membumi, dan mengakar.
Evaluasi UNESCO tahun 2023 mengungkapkan kelemahan pada aspek geo-edukasi, khususnya dalam menjembatani ilmu geologi dengan narasi budaya lokal.
Banyak interpretasi geosite seperti Batu Gantung, Pusuk Buhit, Tele, Uluan, dan Sipiso-piso–Tongging masih disampaikan dalam terminologi ilmiah yang sulit diakses oleh masyarakat. Akibatnya, generasi muda lokal justru merasa asing terhadap geopark yang sebenarnya merupakan ruang hidup mereka sendiri.
Namun penting untuk ditegaskan bahwa sejak periode kepengurusan 2018 hingga 2024, Bidang Edukasi dan Litbang TC UGGp telah aktif mengembangkan dan menjalankan modul edukasi geopark, menyusun rencana edukasi dan sosialisasi lintas jenjang.
Secara konkret telah melaksanakan sosialisasi dan edukasi geopark di seluruh kawasan Danau Toba, khususnya pada wilayah sekitar 16 tapak geosite. Edukasi ini telah menjangkau siswa tingkat SD, SMP, hingga SMA/K, dengan pendekatan interdisipliner yang mengaitkan geologi dengan budaya lokal Batak.
Lebih jauh lagi, upaya konservasi etnobotani Batak di Geosite Pusuk Buhit juga telah dilaksanakan, sebagai bagian dari strategi edukasi berbasis riset dan pelestarian biodiversitas endemik.
Kawasan ini secara bertahap telah dikembangkan menjadi model konservasi keanekaragaman hayati lokal, yang dapat ditiru di geosite lain. Kegiatan ini sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan geopark tidak hanya soal fisik dan narasi turistik, tetapi menyangkut pelestarian pengetahuan lokal yang bersifat regeneratif dan intergenerasional.
Dengan demikian, narasi bahwa edukasi tidak berjalan sepenuhnya memang memiliki dasar kritik, tetapi juga penting mengakui bahwa berbagai upaya akar rumput dan kelembagaan sudah berjalan—meskipun perlu dukungan dan replikasi yang lebih sistemik.
3. Aksiologi: Nilai Apa yang Menjadi Orientasi Pembangunan Geopark?
Aksiologi menyentuh aspek nilai dan tujuan. Apakah pembangunan geopark dijalankan atas dasar pelestarian, pemberdayaan masyarakat, dan keadilan ekologis, atau hanya sebagai alat pencitraan dan penggalangan investasi?
UNESCO dalam evaluasi terakhirnya menyoroti lemahnya pilar community-based development, geo-conservation, visibilitas geopark, dan belum berkembangnya kegiatan ekonomi berbasis geo-product. Ini mencerminkan bahwa nilai-nilai geopark belum sepenuhnya hadir dalam kebijakan maupun praktik pengelolaan.
Untuk itu, diperlukan langkah nyata untuk mengembalikan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan geopark. Salah satu strategi yang harus segera diimplementasikan adalah pembentukan "Kader Pembangunan Geopark" di setiap tapak geosite, yang:
• Dipilih langsung oleh komunitas lokal,
• Ditetapkan dan dibina oleh Kelompok Kerja Geosite,
• Berfungsi sebagai agent of change dalam pelestarian dan edukasi geopark, dan
• Dapat didanai dari Dana Desa sesuai regulasi tentang pemberdayaan masyarakat berbasis potensi lokal.
Dengan cara ini, pembangunan geopark menjadi kerja kolektif yang tumbuh dari bawah (bottom-up), bukan sekadar program struktural dari atas.
Antara Kritik dan Solusi
Kritik Jannus TH Siahaan patut dihargai sebagai bentuk alarm atas kecenderungan birokrasi dan elite yang menjadikan Geopark Toba sebagai proyek tanpa jiwa. Namun, untuk membangun geopark sebagai ekosistem yang hidup, kita juga membutuhkan arah solusi.
Model Pentahelix—kolaborasi antara akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media—telah terbukti berhasil dalam beberapa geopark lain seperti Ciletuh dan Merangin. Pendekatan ini harus dikembangkan bukan sebagai jargon manajerial, tetapi sebagai sistem kerja yang deliberatif dan setara antar aktor.
Salah satu bagian krusial dalam model ini adalah memastikan adanya kader perubahan di setiap tapak geosite, yang bukan hanya menjadi penyambung informasi, tetapi penggerak lokal yang mampu memadukan warisan, ilmu, dan inovasi secara berkelanjutan.
Menjaga Marwah Geopark: Pilihan Bersama
Geopark Toba kini berada di simpang jalan. Apakah akan terus menjadi topeng pembangunan, atau dikembalikan sebagai warisan hidup yang dikelola bersama?
Pilihan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif kita semua—akademisi, pengelola, komunitas lokal, dan warga bangsa. Jika kita gagal melibatkan masyarakat dalam pengelolaan geopark, maka yang kita bangun bukan keberlanjutan, melainkan ilusi.
Geopark Toba tidak butuh lebih banyak seremoni, tetapi lebih banyak ruang dialog, kerja nyata, dan keadilan sosial-ekologis. Jika kita mampu menumbuhkan kesadaran ini, maka Kaldera Toba akan tetap menjadi kebanggaan dunia—bukan karena status UNESCO-nya, tetapi karena ketulusan dan keberanian rakyatnya menjaga bumi dan budaya mereka sendiri.
(Penulis Adalah, Pegiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)