Notification

×

Iklan

Iklan

Dr Wilmar Simanjorang: Kebakaran di Kawasan Danau Toba, Musim Kemarau Bukan Alasan

Senin, 18 Agustus 2025 | 08:22 WIB Last Updated 2025-08-18T01:22:28Z
Kebakaran Hutan di Kawasan Danau Toba

Samosir Internationalmedia.id.-Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali melanda kawasan Danau Toba. Fenomena tahunan yang menghancurkan lanskap ekologis dan membahayakan kesehatan warga ini kini memasuki babak kedua. 

Meski telah disuarakan oleh berbagai Media, hingga Minggu malam (17 Agustus 2025), api masih terlihat membakar perbukitan Aek Rangat, Siogungogung, Kecamatan Pangururan.

Ironisnya, peristiwa ini menyusul kebakaran serupa yang terjadi pada Sabtu sebelumnya, di perbukitan Hasinggaan dan Janji Matogu, Kecamatan Sianjur Mula-Mula. Wilayah ini termasuk dalam kawasan geopark dan semestinya mendapat perlindungan lebih ketat, namun kenyataannya justru menjadi titik api yang berulang.

Demikian disampaikan  Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si, Penggiat Lingkungan dan Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) yang tinggal di Samosir, pagi ini, Senin(18/8) dalam menanggapi terjadinya kebakaran di Kawasan Danau Toba.

Kebakaran hutan melanda kawasan wisata Danau Toba, tepatnya di Desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut).
Peristiwa yang terjadi pada Kamis (14/8) sore itu menghanguskan sekitar 12 hektare lahan hutan lindung.

Dikatakan, rekayasa cuaca yang digadang-gadang sebagai solusi belum memberi hasil nyata. Api tetap berkobar. Asap tetap menyelimuti. Pemerintah belum juga merilis secara terbuka penyebab utama karhutla yang menghantui kawasan Danau Toba ini.

Tidak Ada Transparansi

Menurut Wilmar, hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pemerintah mengenai penyebab utama kebakaran ini—apakah disengaja, kelalaian, atau kombinasi dari keduanya. Lebih parah lagi, penyebab keruhnya air Danau Toba yang sempat mencuat beberapa waktu lalu pun belum diumumkan ke publik secara ilmiah.

Hasil laboratorium dari lembaga terakreditasi yang telah diambil beberapa bulan lalu belum dipublikasikan. Apakah ini bentuk kelalaian? Atau ada sesuatu yang disembunyikan?. 

Lebih mencemaskan lagi adalah fenomena semburan lumpur panas dari Rianiate, yang dilaporkan warga sejak awal Juli lalu. Lumpur bercampur belerang yang menyembur ke darat tidak hanya mengganggu aktivitas warga, tapi juga dikhawatirkan mengandung unsur kimia berbahaya. Pemerintah dan pihak berwenang belum memberi penjelasan ilmiah, apalagi solusi konkret.

Berdasarkan pengamatan saya secara langsung di lapangan, kebakaran di sejumlah titik tidak mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan manusia. Bau abu pembakaran masih tercium di sekitar area yang terbakar. 

Apakah ini bagian dari praktik pembukaan lahan secara ilegal Ataukah ada motif lain yang lebih dalam.Kebakaran ini bukanlah menjadikan musim kemarau sebagai alasan.

Benchmark Kanada: Ketika APH Bertindak Cepat dan Profesional

Sebagai perbandingan, Wilmar memberi contoh, kasus kebakaran semak di Ashcroft, British Columbia, Kanada, pada 30 Juli 2025, memberi pelajaran penting. Dalam hitungan hari, pihak otoritas setempat mampu mengidentifikasi penyebab kebakaran secara akurat dan terbuka ke publik. Penyebabnya bukan manusia, bukan juga cuaca ekstrem, melainkan seekor burung elang osprey yang menjatuhkan ikan ke kabel listrik, memicu percikan api yang membakar semak kering.

Kesigapan ini terjadi berkat:
Sistem pemantauan canggih yang terintegrasi (drone, sensor panas, data satelit),
Keterlibatan aktif warga dalam pelaporan awal,
Kehadiran tim investigasi lintas sektor yang profesional dan berpengalaman.
Dalam waktu singkat, penyebab kebakaran diumumkan secara resmi oleh Dinas Pemadam Kebakaran Ashcroft. Tak ada yang ditutup-tutupi, tak ada laporan yang menggantung.

Ini menunjukkan bahwa APH (Aparat Penegak Hukum)dan badan penanggulangan bencana yang bekerja secara sistematis dan transparan bisa menuntaskan penyelidikan secara ilmiah dan meyakinkan—bahkan untuk kasus yang sangat tidak lazim sekalipun.

Kontras dengan Danau Toba, di mana hingga kini masyarakat masih bertanya-tanya: siapa pelaku kebakaran ini, dan apa motifnya?

Bertindak, Bukan Menunggu
Menurut Wilmar, langkah Investigasi yang mendesak:
1. Aktifkan Sistem Pemantauan Berbasis Teknologi: Gunakan drone, satelit, dan sensor termal untuk pemetaan titik api real-time.
2. Bentuk Tim Investigasi Khusus: Libatkan unsur kepolisian, kehutanan, ahli lingkungan, dan akademisi. Bukan sekadar laporan administratif.
3. Buka Saluran Laporan Publik: Masyarakat harus dilibatkan, bukan disalahkan.
4. Audit Independen Terhadap Penanganan Karhutla: Tidak cukup hanya menyiram api—selidiki mengapa api muncul kembali setiap musim kemarau.
5. Benchmarking Kinerja: Gunakan kasus seperti Ashcroft sebagai acuan profesionalisme dalam investigasi karhutla.

Langkah Pencegahan Jangka Panjang:
1. Sanksi Tegas dan Transparan: Jangan biarkan pelaku karhutla hanya menerima peringatan.
2. Rehabilitasi Ekosistem Hutan Secara Serius: Reboisasi dan penataan ulang kawasan yang rusak harus menjadi prioritas nasional.
3. Edukasi dan Inovasi Ekonomi Hijau: Dorong masyarakat lokal untuk tidak lagi bergantung pada pembakaran lahan sebagai metode pembukaan.
4. Lindungi Kawasan Geopark dan Danau: Perketat zona perlindungan. Bangun pos pantau tetap di kawasan rawan.
5. Ungkap Hasil Riset Air Danau Toba dan Lumpur Rianiate: Publikasikan hasil laboratorium secara transparan agar masyarakat tahu apa yang terjadi.

Musim kemarau bukanlah kambing hitam. Api tidak menyala sendiri. Kebakaran yang berulang adalah cermin kegagalan manajemen risiko dan penegakan hukum. Kawasan Danau Toba terlalu berharga untuk terus menjadi korban ulah segelintir orang dan kelambanan negara.

Aparatur Penegak Hukum dan Pemerintah Daerah harus bertindak cepat, tegas, dan transparan. Rakyat berhak tahu. Danau Toba berhak diselamatkan,katanya mengakhiri.*

×
Berita Terbaru Update