Notification

×

Iklan

Iklan

Toba Membara, Geopark Krisis Iklim

Rabu, 16 Juli 2025 | 20:05 WIB Last Updated 2025-07-16T13:08:49Z
Perbukitan Kawasan Danau Toba sudah hitam pekat dimakan sijago merah

Oleh : Dr.Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec.,M.Si

Danau Toba, dengan bentang alamnya yang memukau dan kisah geologisnya yang menakjubkan, menyimpan warisan alam dan budaya yang mendalam. Namun, hampir setiap tahun, di sepanjang Mei hingga awal Juli, lanskap perbukitan yang membingkai kawasan Geopark Toba menyala oleh jilatan api. Fenomena ini bukan lagi sekadar insiden ekologis musiman, melainkan cermin dari krisis yang lebih besar: perubahan iklim dan pemanasan global.

Kebakaran di kawasan perbukitan mulai dari Huta Ginjang, Bakkara Tipang, Sigulatti, hingga Pusuk Buhit telah menjadi pola berulang. Api membakar vegetasi kering yang terpapar suhu tinggi dan kelembapan rendah, kondisi yang semakin ekstrem akibat pemanasan global. 

Pada tahun ini, tren itu muncul lebih awal dan meluas. Dari Mei hingga awal Juli 2025, setidaknya telah tercatat puluhan titik api, banyak di antaranya berada di zona-zona strategis geosite Geopark Toba yang merupakan bagian penting dari warisan geologi dunia yang diakui UNESCO.

Jejak Krisis Iklim di Tanah Geologi Purba

Perbukutan Kering Kerontang akibat dilalap Sijago Merah

Pemanasan global bukan lagi sekadar statistik atau wacana akademik—ia telah menapak langsung di tanah-tanah kita. Peningkatan suhu permukaan dan perubahan pola hujan mengubah ekosistem hutan tropis menjadi kawasan yang mudah terbakar. 

Data satelit menunjukkan bahwa anomali suhu permukaan di kawasan Sumatera Utara meningkat signifikan dalam satu dekade terakhir, menciptakan kondisi “pra-kering” yang menjadi pemicu utama kebakaran liar.

Secara ekologis, kebakaran berulang memicu degradasi keanekaragaman hayati dan kerusakan tanah. Secara sosial, ini mengguncang komunitas lokal yang menggantungkan hidup pada hasil hutan, pertanian, dan pariwisata. Dan secara geopark, ini mengancam nilai integratif dari warisan geologi, budaya, dan hayati yang menjadi landasan utama pengakuan Geopark Toba oleh UNESCO.

Toba Visi Masa Depan

Kawasan Geopark Toba seharusnya menjadi etalase penerapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), bukan hanya karena nilai geologinya, tetapi karena potensi transformasinya. Namun, untuk itu, pengelolaan geopark harus direorientasi dari pendekatan eksploitatif atau seremonial, menuju paradigma adaptif dan berketahanan iklim.

Beberapa langkah yang bisa diambil secara konkret antara lain:
1. Pemantauan Risiko dan Pencegahan Kebakaran Berbasis Komunitas (SDG 13: Aksi Iklim)
Pembangunan sistem peringatan dini berbasis data satelit dan pelibatan masyarakat adat sebagai penjaga lanskap dapat menekan laju kebakaran. Kearifan lokal, seperti pemetaan angin dan siklus musim, harus diintegrasikan ke dalam kebijakan mitigasi iklim.
2. Restorasi Ekosistem Perbukitan (SDG 15: Kehidupan di Darat)
Program penghijauan berbasis vegetasi asli dan tanaman konservasi air dapat mengurangi risiko kebakaran serta memulihkan daya dukung ekologis kawasan.
3. Pariwisata Berkelanjutan yang Tahan Iklim (SDG 8 dan 12).

Mengembangkan paket wisata geologi yang rendah emisi karbon, serta melatih pelaku wisata agar menjadi duta konservasi, adalah jalan tengah yang mampu menjaga nilai ekonomi dan ekologis geopark.
4. Pendidikan Iklim Berbasis Geowisata (SDG 4: Pendidikan Berkualitas)
Geopark harus menjadi pusat literasi perubahan iklim, di mana setiap pengunjung tidak hanya mendapat pengalaman visual, tetapi juga kesadaran kritis akan krisis planet yang sedang kita hadapi.

Menjaga Api Warisan, Memadamkan Api Kehancuran

Kawasan Danau Toba bukan hanya situs geologi, tetapi simbol dari hubungan manusia dengan bumi purba. Dalam konteks krisis iklim, geopark bukan sekadar destinasi, tetapi medan pertempuran antara keberlanjutan dan kehancuran. Api yang membakar perbukitan bukan hanya membakar vegetasi, tetapi juga membakar harapan kita untuk mewariskan bumi yang layak huni bagi generasi mendatang.

Mengelola Geopark Toba haruslah berdiri dalam semangat yang sejalan dengan Pembangnan Berkelanjutan (SDGs), memadukan pelestarian, partisipasi masyarakat, dan transformasi kebijakan. Tanpa itu, kebakaran tidak hanya akan terus terjadi, tetapi akan menjadi simbol kegagalan kolektif kita dalam menjawab tantangan terbesar abad ini: perubahan iklim.*

(Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia/Penggiat Lingkungan)

×
Berita Terbaru Update