Oleh : Daddy Rohanady, Anggota DPRD Jabar
Antara Perut dan Maut
Hampir semua pedagang kini meradang
mereka merasa bernasib sama
otak mereka diperas
agar tabungan dan isi rumah tidak terkuras
repotnya yang tak punya tabungan
bantuan yang ada pasti tak cukup
apalagi kalau larangan diperpanjang
bagaimana menyambung hidup kalau dagang dilarang?
memang tidak boleh putus asa
Jika tak ada jalan keluar?
solusi seakan buntu
dilarang berkerumun dan semua dibatasi
tapi perut harus diisi
mereka butuh makan
maka tetap harus ada jalan
jangan menunggu amuk rakyat
kalau itu terjadi, birokrasi tak lagi punya arti
karena pilihannya antara hidup dan mati
kalau terus dibiarkan
rakyat tak lagi punya pilihan
mereka bisa turun ke jalan
tapi bukan jalan-jalan
mereka jadi demonstran.
Semoga cobaan berat ini segera berlalu
sampai kapan bisa bertahan juga tak ada yang tahu
kalau sudah berkaitan dengan perut
semua tak lagi takut maut.
Itulah sekilas gambaran situasi yang berkembang belakangan
ini. PPKM Darurat memang sudah berakhir pada 20 Juli 2021 lalu berbarengan
dengan Idul Adha 1442 H.
Penerapan kebijakan tersebut di satu sisi sukses mencegah
pergerakan masyarakat yang semula dikhawatirkan akan pulang kampung.
Banyak pejabat sudah menyatakan bahwa PPKM Darurat berhasil
menekan angka peningkatan jumlah terkonfirmasi covid-19. Angka-angka yang
dipublikasikan memang mendukung semua itu.
Belum lagi persentase angka keterisian tempat tidur di
setiap rumah sakit yang terus turun. Semua itu memperkuat argumentasi
keberhasilan PPKM Darurat.
Kini era berganti. Presiden Jokowi mengubahnya menjadi PPKM
berlevel. Mayoritas wilayah pun menerapkan kebijakan wilayahnya di level 4.
Sebenarnya, tidak terlalu banyak perbedaannya antara PPKM Darurat dengan PPKM
level 4. Hanya ada beberapa bagian yang dilonggarkan.Pada intinya, tujuannya
memang sama, yakni mengurangi kemungkinan penyebaran covid-19 secara lebih
meluas.
Di satu sisi tujuan kebijakan yang diambil pasti dipahami
masyarakat. Namun, ada hal yang tak bisa kita abaikan pula. Itulah yang coba
saya tuangkan dalam deretan kata di awal tulisan ini. Pada dasarnya manusia
memang butuh sehat, tetapi dia juga butuh makan.
Andai kemudian kebijakannya seratus persen tak boleh
berjualan, saya khawatir ini menjadi kebijakan yang kontraproduktif. Di satu
sisi kita ingin memperhatikan kesehatan, tanpa mengabaikan sisi recovery
ekonomi. Namun, sekali lagi misalnya, andai dilakukan pelarangan berjualan secara
total, pasti di sana sini akan banyak perlawanan.
Betapa tidak, para pedagang asongan, misalnya, pasti tidak
setuju dengan PPKM Darurat. Mereka mayoritas baru bisa makan dari hasil
penjualan hari itu. Bagi mereka, makan tidaknya hari itu --atau maksimal
besok-- sangat bergantung pada hasil penjualan hari ini. Lantas, apa yang akan
terjadi jika mereka dilarang berjualan?
Secara sederhana, kita bisa menjawab dengan mudah. Mereka
akan melakukan penolakan. Mereka akan tetap berjualan. Itu semua mereka lakukan
demi keluarganya. Bagaimana mungkin seseorang akan membiarkan keluarganya tidak
makan?
Bansos? Bukankah sudah dinyatakan bahwa besarannya Rp 600.000
per keluarga per bulan. Andai suami-istri sebuah keluarga hanya satu yang jadi
tulang punggung (mencari uang), berarti mereka berdua harus menggunakan dengan
berhemat karena jatahnya Rp 20.000 per hari.
Lalu bagaimana, misalnya, kalau mereka harus membayar
listrik dan PAM minimal. Apalagi kalau mereka mempunyai anak sekolah. Pulsa
untuk anaknya harus dibayar pula. Berarti besaran biaya mekan mereka per hari
menjadi jauh lebih kecil lagi. Itu untuk mereka yang mendapat bansos.
Bagaimana dengan keluarga yang tidak mendapat bansos? Mereka
bisa dipastikan akan tetap berdagang atau melakukan kegiatan lainnya yang
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka juga pasti menyadari
risiko yang harus ditanggung.
Jadi, kebijakan kita harus dipikirkan secara matang. Karena,
seperti akhir deretan kata-kata saya di awal tulisan ini, kalau sudah berkaitan
dengan perut, semua tak lagi takut maut.