Santi Whiteside Boru Sihombing
Jakarta.Internationalmedia.id.-Seorang lagi wanita
berdarah batak, viral dan diekspose Bataknesia Chanel. Ia bernama, Santi
Whiteside Boru Sihombing, sudah lebih dari 20 tahun tinggal Australia. Lima
belas tahun lalu sudah menjadi warga negaras Australia.
Wanita besuamikan pria Australia ini sudah mempunyai
3 orang anak. Kini dia menjadi salah satu kandidat “councillor” di kawasan
Whitehorse, sebelah timur Kota Melbourne Australia.
"Councillor" adalah pejabat yang dipilih
melalui pemilihan untuk "Council", atau Dewan Pemerintah setingkat
kabupaten atau kota. Salah satu dari "councillor" sekaligus akan
menjadi wali kota atau mayor.
Santi mengaku, tak pernah terpikirkan olehnya untuk
bisa mengikuti pemilihan council, apalagi terjun ke dunia politik di Australia.
"Saya tak sengaja jadi politisi, bukan karena
memang berambisi untuk jadi politisi atau kepala pemerintahan lokal,"
ujarnya kepada ABC Indonesia.
Ia mengaku jika aktivitasnya di sejumlah organisasi
kemasyarakatan di Melbourne membuat rekan-rekannya meminta dan mendukung
dirinya untuk maju dalam pemilihan yang digelar setiap empat tahun tersebut.
Santi dikenal sebagai duta multikultur dari yayasan
kesehatan mental Australia (MHFA), Wakil Presiden Perhimpunan Warga Indonesia
di Victoria, perkumpulan kuliner Indonesia, juga salah satu anggote komite di
perkumpulan warga India di Australia.
"Meskipun saya berdarah Batak, tapi sudah lama
saya tertarik dengan budaya India," katanya.
Mengeluarkan Biaya hingga Ratusan Juta Rupiah
Di Indonesia, politik uang dalam sebuah pemilihan
sudah menjadi rahasia umum, tapi Santi mengaku hal ini, setidaknya, tidak
terjadi dalam pemilihan council di Victoria.
"Biaya yang saya keluarkan ada di kisaran
10.000-20.000 dollar Australia (lebih dari Rp 100 hingga 200 juta)," kata
Santi yang berasal dari Sumatera Utara.
"Tapi itu kebanyakan untuk membuat materi
kampanye, seperti poster, iklan di media," katanya.
Santi bersama suami
Santi mengaku jika modal politiknya saat ini ia
dapatkan dari kegiatannya di sejumlah organisasi, sehingga membuatnya paham
sejumlah masalah yang dialami warga, terutama migran baru, seperti
kesejahteraan, lapangan pekerjaan, kesehatan mental.
"Jika saya terpilih di (kawasan) Wattle, maka
saya akan mampu mengangkat masalah yang dihadapi warga di sini dengan memahami
latar belakang budaya yang beragam," ujar dia kepada Erwin Renaldi dari
ABC Indonesia.
Akibat ketatnya pembatasan aktivitas di tengah
pandemi Covid-19, para kandidat councillor di negara bagian Victoria tidak
dapat melakukan kampanye secara tatap muka.
Sebagai gantinya, Santi mengaku jika banyak warga
yang langsung menghubungi dirinya, baik secara telepon atau email, untuk
mengetahui langkah apa yang ia akan ambil untuk mengatasi permasalahan di
daerahnya.
Tetap Bangga dengan Indonesia
Ibu dengan tiga anak dan bersuamikan pria Australia
ini mengaku sudah pindah kewarganegaraan sejak 15 tahun lalu dengan alasan
"untuk lebih memudahkan memperkenalkan budaya Indonesia di tingkat
dunia".
Namun ia mengatakan hal tersebut tidak melunturkan
nilai-nilai Indonesia yang tetap ia pegang teguh, terutama soal hidup dalam
keberagaman budaya.
"Saya tetap bangga dengan adat Indonesia dan
nilai-nilai yang dibesarkan keluarga saya dan sekarang saya mengakui sebagai
seorang warga Australia dengan nilai-nilai Indonesia yang kuat," ujarnya.
"Bagaimanapun adat dan budaya Indonesia yang
menekankan pada persatuan dan kesejahteraan keluarga sejalan dengan nilai-nilai
dalam kehidupan di Australia," imbuhnya.
Santi mengaku ia tidak terlalu banyak berharap dalam
pemilihan kali ini, karena telah mendapatkan banyak pelajaran baginya untuk
berpartisipasi dalam politik praktis di Australia untuk menyiapkan dirinya
lebih baik dalam empat tahun mendatang.
"Salah satu alasan saya ingin ikut tahun ini
juga adalah agar lebih banyak warga Indonesia (di Australia) untuk terjun ke
dunia politik Australia untuk kehidupan warga yang lebih baik," kata
Santi.
Kandidat dari Berbagai Latar Belakang Budaya
Tahun ini banyak kandidat councillor di Victoria
yang berasal dari berbagai latar ras dan budaya, seperti Santi, dengan harapan
mereka dapat membuat perubahan bagi komunitasnya.
Calvin Chin, berdarah Malaysia-China memilih untuk
ikut dalam pemilihan di Monash City Council, yang seperempat penduduknya adalah
warga keturunan China.
"Kebanyakan migran asal Asia di sini adalah
generasi pertama … suara mereka tidak pernah terdengar," ujar Calvin.
Santi (sebelah kanan)
Bukan hanya karena faktor budaya yang jauh berbeda,
Calvin mengatakan seringkali mereka tidak terwakili karena adanya hambatan
dalam berbahasa.
Begitu pula dengan Amina Liban, yang datang ke
Australia 20 tahun lalu bersama orangtua dan delapan saudara kandungnya dari
Somalia.
Meski ia sudah melihat banyak kemajuan dalam
penerimaan budaya yang beragam, namun menurutnya masih kurang ada kesempatan
bagi orang-orang yang tidak berkulit putih.
"Kita berusaha untuk menyediakan berbagai
pelayanan kepada warga, (tapi) jika tidak memiliki pemahaman budaya saat
memenuhi kebutuhan mereka, bagaimana bisa memberikan pelayanan terbaik?"
ujar Amina.
Kepada ABC Indonesia, Amina mengatakan ia bukan saja
ingin mewakili komunitas Afrika dan Muslim, tapi juga meningkatkan partisipasi
perempuan dalam politik Australia.
Sementara bagi Santi, ia ingin agar semua warga,
khususnya di daerah yang diwakilinya mendapat pelayanan dan perhatian yang
adil.
Terlebih ia merasa warga dari beragam ras dan budaya
di kawasannya belum terlalu terekspos atau terlibat dalam kehidupan
bermasyarakat.
"Saya ingin membangun kehidupan masyarakat
multikultur yang kuat dan harmoni, saling menghormati dan melihat satu sama
lain sebagai satu keluarga besar Australia," ujar Santi.(*)