![]() |
| Bertunas Kembali |
Samosir.Internationalmedia.id.- Lereng Pusuk Buhit di sekitar Danau Toba kembali menjadi saksi perjuangan tanaman macadamia yang tahan banting dan tahan api.
Aktivis lingkungan dan pionir pengembangan macadamia, Wilmar Eliaser Simandjorang, pekan lalu menemukan bahwa sebagian pohon yang terbakar akibat kemarau panjang Juli 2025 kini mulai bertunas kembali.
Menurutnya, temuan ini menjadi bukti nyata bahwa macadamia bukan sekadar tanaman konservasi, tetapi juga simbol ketahanan ekosistem.
Dikatakan, sejak era 1980-an, Kementerian Kehutanan telah memperkenalkan macadamia sebagai tanaman penghijauan. Masyarakat Samosir mengenalnya sebagai “Macadamia Tahan Api”, karena batangnya yang besar dan tinggi mampu memunculkan tunas baru meski pohonnya hangus terbakar.
Pada masa itu, buah macadamia yang ditanam untuk konservasi tidak dapat dikonsumsi manusia. Spesies tersebut antara lain Macadamia claudiensis, Macadamia grandis, Macadamia jansenii, Macadamia ternifolia, Macadamia tetraphylla (varietas tertentu), dan Macadamia whelanii, yang kandungan racunnya membuat bijinya beracun atau tidak layak makan.
Biji macadamia pertama kali didatangkan dari Australia oleh PT Inhutani Surabaya, dan pada 2016, Kementerian Kehutanan memperkenalkan tanaman ini sebagai salah satu tanaman konservasi di kawasan Danau Toba.
Tahun 2017 menandai babak baru. Wilmar Simandjorang menanam 200 batang Macadamia Integrifolia hasil kiriman Direktorat Jenderal PDAS HL di lereng Pusuk Buhit. Dalam beberapa tahun, jumlah pohon bertambah hingga seribu batang. “Kami melihat macadamia ini tidak hanya bagus untuk konservasi, tapi juga punya nilai ekonomis tinggi. Itu yang membuat kami terus mengembangkan,” ujar Wilmar.
Menurut Wilmar, PT Inhutani IV, bekerja sama dengan Dirjen PDAS HL, mulai serius mengembangkan macadamia di daerah tangkapan air Danau Toba sebagai bagian dari rehabilitasi hutan. Sejak 2019, Inhutani IV bermitra dengan Eureka Macadamia Management dari Australia, mengimpor 15,7 ton benih Macadamia Integrifolia hingga 2020.
Bahkan, Plt. Direktur Utama PT Inhutani IV, Andi Purwadi, menyatakan, “Pengembangan macadamia bukan hanya soal konservasi, tapi juga membuka peluang bisnis baru. Sumatera Utara sangat cocok untuk tanaman ini,” tambahnya.
Hanya dua spesies macadamia yang bijinya bisa dikonsumsi manusia: Macadamia Integrifolia dan Macadamia Tetraphylla. Jenis ini memiliki nilai ekologi tinggi karena cocok untuk rehabilitasi hutan dan lahan, sekaligus diminati pasar internasional.
Sementara spesies lainnya, seperti Macadamia claudiensis, Macadamia grandis, Macadamia jansenii, Macadamia ternifolia, dan Macadamia whelanii, tetap digunakan untuk konservasi karena ketahanannya terhadap api, meski bijinya tidak layak makan, kata Wilmar.
Kebakaran dan Kebangkitan
Tahun 2024 menjadi momen penting ketika beberapa pohon macadamia mulai berbuah. Namun, pada Juli 2025, kemarau panjang menyebabkan kebakaran hebat di lereng Pusuk Buhit.
“Awalnya sedih melihat pohon-pohon terbakar, tapi saat Desember kami meninjau kembali, sebagian mulai bertunas dan tumbuh kembali,”.
Temuan ini menegaskan ketahanan macadamia dan semakin memotivasi Wilmar serta timnya untuk terus memelihara dan mengembangkan pohon ini sebagai tanaman konservasi sekaligus potensi ekonomi baru bagi masyarakat sekitar, kata Wilmar.
Masa Depan Macadamia di Danau Toba
Sejak diperkenalkan hingga kini, macadamia telah menjadi simbol konservasi berkelanjutan. Dari biji impor pertama, penanaman pionir oleh individu visioner, hingga pengembangan skala luas melalui kerjasama internasional, macadamia kini membuktikan dirinya mampu bertahan menghadapi tantangan alam sekaligus membuka peluang ekonomi.
“Macadamia bukan sekadar tanaman, Ia adalah harapan bagi ekosistem Danau Toba dan masa depan masyarakatnya.” tutup Wilmar(*)
