Notification

×

Iklan

Iklan

Masih Tetap Relevan di Era AI

Senin, 01 Desember 2025 | 19:44 WIB Last Updated 2025-12-01T12:44:42Z

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si

Kemarin pagi, udara masih lembap ketika saya melangkah masuk ke perpustakaan pribadi yang sudah lama tak benar-benar saya masuki. Ruangan itu sunyi, dipenuhi rak-rak kayu tua yang mulai memudar warnanya. Bau khas buku yang telah lama disimpan—perpaduan kertas yang menguning dan jejak waktu—langsung menyergap, membawa saya seolah kembali pada masa ketika semua informasi tidak tersaji dalam hitungan detik di layar ponsel. 

Di sudut rak yang paling jarang tersentuh, pandangan saya tertahan pada sebuah buku dengan sampul sederhana yang warnanya nyaris pudar. In Search of Excellence, terbitan 1982. Buku yang dulu saya beli karena begitu banyak dibicarakan dalam percakapan manajemen dan kepemimpinan, tetapi kemudian terkubur oleh gelombang bacaan-bacaan baru, lebih cepat, lebih digital, lebih “zaman now”.

Saya mengambilnya. Debu berterbangan tipis, seperti menyibak jeda panjang antara masa lalu dan masa kini. Saat membuka halaman pertamanya, sebuah pertanyaan muncul tanpa bisa saya cegah: “Apakah buku tua ini masih punya tempat di era AI—dan layakkah ia saya bagikan sebagai pelajaran untuk generasi yang tumbuh dalam ritme TikTok dan algoritma Gen Z?.” 

Pertanyaan itu terasa menggema, menghubungkan dua dunia yang seolah berseberangan: dunia analog tempat buku itu lahir, dan dunia digital yang kini kita hidupi. Namun semakin saya membaca, semakin saya merasa bahwa jarak itu tidak selebar yang saya bayangkan.

Gerak Cepat: Dari Pabrik ke Platform Digital

Bab pertama mengangkat prinsip Bias for Action—keberanian untuk bergerak cepat, bahkan ketika informasi belum lengkap. Prinsip ini lahir di masa ketika proses bisnis masih didominasi manufaktur dan birokrasi. Namun saat membacanya kembali, saya justru teringat pada dunia yang bergerak hari ini: dashboard real-time, laporan otomatis dari AI, grafik naik-turun yang berubah secepat kedipan mata. Jika dulu bergerak lambat berarti tertinggal, kini lambat berarti tak terlihat. Kecepatan bukan lagi pilihan, melainkan fondasi keberlangsungan.

Prinsip kedua—Close to the Customer—mengajak organisasi untuk mendengar pelanggan dengan sungguh-sungguh. Pada tahun 80-an, perusahaan rela menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengolah survei pelanggan.

Kini, pelanggan berbicara setiap detik—melalui jejak digital, rating, komentar, hingga pola klik. Namun di balik semua kemudahan itu, esensi prinsipnya tetap sama: kedekatan bukan hanya soal data, tetapi memahami manusia di balik data itu. AI dapat mengenali pola, tetapi hanya kita yang dapat menghayati maknanya.

Otonomi sebagai Ruang Bernapas

Prinsip Autonomy and Entrepreneurship terasa seperti kritik halus bagi organisasi modern yang kerap terjebak dalam kontrol berlebihan. AI memang mengefisienkan pekerjaan teknis, tetapi inovasi hanya lahir dari ruang yang memberi kesempatan untuk mencoba, gagal, dan mencoba lagi. Ruang otonomi—baik bagi tim maupun individu—tetap menjadi sumber nyala kreativitas.

Salah satu bagian buku yang membuat saya berhenti membaca sejenak adalah ketika penulis menekankan pentingnya memanusiakan organisasi. Prinsip Productivity Through People terasa menghangatkan di tengah hiruk-pikuk otomasi hari ini. Teknologi membantu mempercepat proses, tetapi hubungan antarmanusia lah yang membentuk budaya kerja.

AI dapat memberi rekomendasi, tetapi tidak ada algoritma yang mampu menggantikan empati, solidaritas, atau rasa percaya.

Pemimpin yang Menjejak Tanah

Prinsip Hands-On, Value-Driven mengingatkan saya pada banyak pemimpin modern yang justru semakin relevan karena kedekatannya. Di era AI, ketika keputusan bisa dirumuskan dalam hitungan detik, nilai dan integritas justru menjadi jangkar. Pemimpin yang hadir, mendengarkan, dan menunjukkan konsistensi nilai adalah kompas moral yang menjaga organisasi tetap utuh.

Dalam dunia yang menawarkan ribuan peluang baru—dari AI generatif hingga bisnis digital—prinsip Stick to the Knitting terasa seperti pengingat yang lembut namun tegas. Fokus pada inti bukan berarti menolak perubahan, melainkan memilih perubahan yang benar. AI dapat menuntun arah, tetapi hanya manusia yang dapat menentukan tujuan.

“Simple Form, Lean Staff” terasa hampir profetis bagi era sekarang. Organisasi yang berat, birokratis, dan lamban kini kewalahan mengejar kecepatan perubahan. Organisasi yang ringan dan adaptif justru tampil lebih tangkas menghadapi ketidakpastian. Kesederhanaan—yang sering dianggap biasa saja—ternyata adalah strategi bertahan.

Prinsip terakhir, Loose-Tight Properties, mengajak organisasi untuk bersikap tegas pada nilai namun lentur pada cara. Nilai adalah akar. Metode adalah cabang. Dalam era yang semakin cair, fleksibilitas menjadi kekuatan—selama tidak mengorbankan prinsip utama. Di titik inilah AI memiliki batas yang jelas: ia dapat membantu kita mengambil keputusan, tetapi tidak dapat menentukan mana yang benar.

Refleksi di Ujung Pagi

Ketika saya menutup kembali buku berusia empat dekade itu, ruangan terasa berbeda. Bukan karena ada yang berubah, tetapi karena saya merasa menemukan sesuatu yang selama ini tenggelam oleh hiruk-pikuk teknologi: kebijaksanaan yang pelan, namun tajam; sederhana, namun mendalam.

Saya menyadari bahwa terlepas dari segala kemajuan AI, fondasi organisasi yang baik tetap sama: Keberanian untuk bergerak. Kedekatan dengan manusia. Konsistensi nilai. Fokus pada hal esensial. Kemanusiaan sebagai inti. AI mungkin mempercepat ritme kehidupan, tetapi tidak seharusnya mengubah arah moral perjalanan kita.

Untuk Gen Z dan Kita Semua di Era AI

Saya mematikan lampu perpustakaan itu dengan senyum kecil. Buku tua yang nyaris terlupakan ini ternyata masih memiliki suara yang lantang—bukan karena kecanggihannya, tetapi karena kejernihan prinsipnya. Bagi Gen Z yang tumbuh di tengah percepatan digital, prinsip-prinsip ini bukan sekadar warisan manajemen, tetapi penuntun agar tetap manusia di tengah teknologi yang kian mendominasi.

Buku lama. Zaman baru. Namun kebijaksanaan? Ia tak pernah kehilangan relevansi.

(Penulis Adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) / Penggiat Lingkungan)
       
×
Berita Terbaru Update