Selama persiapan revalidasi UNESCO sebuah istilah baru bergema dari kalangan pejabat pusat hingg daerah yang diikuti pejabat geopark TC UGGp: “Orang Tertular Geopark”, disingkat OTG. Dalam narasi yang dibungkus semangat optimisme. Istilah ini disebut-sebut sebagai indikator keberhasilan kampanye geopark di masyarakat. Namun, ketika dikupas lebih dalam, OTG tak lebih dari jargon menyesatkan yang tak berpijak pada bukti lapangan maupun riset akademik.
Bagaimana bisa publik disebut "tertular" semangat geopark jika aparat pemerintah pun belum benar-benar memahami esensi geopark itu sendiri?.
Sejak status Toba Caldera ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp) pada 10 Juli 2020, idealnya pengelolaan geopark ini mengikuti tiga pilar utama UNESCO: konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Tetapi apa yang terjadi justru jauh dari harapan.
Bahkan, dalam penilaian revalidasi terakhir, TCUGGp harus menerima kenyataan pahit: dijatuhi “Yellow Card” oleh UNESCO pada April 2024 — sebuah peringatan keras atas kelemahan manajemen, ketiadaan program berbasis masyarakat, serta buruknya perlindungan lingkungan.
Alih-alih menjadi momentum perbaikan, respons birokrasi justru terjebak pada kosmetik retoris. Dalam waktu beberapa bulan menjelang revalidasi, aktivitas ‘dadakan’ digelar serba darurat, tanpa strategi matang dan tanpa menyentuh jantung permasalahan di 16 geosite yang tersebar di kawasan Danau Toba.
Istilah OTG menjadi ironi di tengah fakta bahwa masyarakat di sekitar geosite belum banyak yang mengetahui apa itu geopark. Apalagi merasakan manfaatnya. Infrastruktur edukasi belum berjalan, konservasi lingkungan malah terabaikan. Pembakaran hutan di perbukitan geosite merajalela, penebangan liar semakin masif, limbah rumah tangga dan perikanan keramba mencemari danau. Di mana “penularan” itu? Bukankah seharusnya perubahan perilaku berbasis kesadaran ekologis menjadi parameter utamanya?.
Hingga kini, berbagai regulasi kunci seperti Perpres No. 9 Tahun 2019, Permen Bappenas No 15 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Nasional Pengembangan Taman Bumi (Geopark), hingga Kepmenpar No. 2 Tahun 2020 Tentang Pedoman Teknis Pengembangan Geopark Sebagai Destinasi Pariwisata dan Per Gub Su No 5 Tahun 2024 belum dijalankan secara menyeluruh oleh Badan Pengelola TCUGGp.
Bahkan, Rencana Induk Pengembangan (RIP)/Master Plan TC UNESCO Global Geopark yang menjadi pedoman legal belum tersedia. Perencanaan kerja tahunan dan empat tahunan pun absen. Padahal, sejak 2012 hingga kini — lebih dari satu dekade — program geopark ini telah menyerap tidak sedikit dana public mulai dari instansi pusat hingga ke daerah.
Yang lebih menyakitkan, pengelolaan geopark semenjak awal lahirnya Geopark Toba justru terkesan sebagai proyek politik: ajang bagi-bagi jabatan bagi mereka yang minim kompetensi geopark. Alih-alih membentuk tim teknis yang solid, profesional, dan independen, pengurus sebelumnya gagal menjalankan rekomendasi UNESCO.
Akibatnya, upaya revalidasi pun dua kali gagal, dan baru mendapat “Green Card” kembali pada September 2025 — itu pun tanpa selebrasi atau pernyataan resmi dari Gubernur Sumatera Utara, seperti yang juga terjadi pada 2020 lalu.
Lebih ironis lagi, walau Pemerintah Pusat menyatakan bahwa geopark telah masuk dalam RPJMN dan RPJMD serta SIPD (Sistem Informasi Pemerintahan Daerah), pelaksanaannya di lapangan belum jelas. Tak ada batas tegas antara kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten. Lalu bagaimana bisa menyatakan bahwa publik sudah "tertular" geopark, jika pelaksananya saja masih bingung siapa mengerjakan apa, dimana, oleh siapa dan bagaimana mengerjakannya?.
Kampanye OTG, dengan demikian, bukan hanya menyesatkan, tapi juga menyakitkan hati publik. Ia menunjukkan betapa jauhnya antara klaim dan kenyataan. Klaim yang dikumandangkan tanpa riset, tanpa indikator terukur, dan tanpa empati terhadap kondisi riil masyarakat di geosite. Sebuah kampanye yang lebih cocok disebut sebagai “opini pejabat” ketimbang strategi pembangunan berbasis data.
Sudah saatnya Pemerintah — baik pusat maupun daerah — dan juga pengelola TC UGGp berhenti menjual ilusi. Geopark bukan sekadar label untuk kepentingan pariwisata atau pencitraan di forum internasional. Ia adalah komitmen jangka panjang untuk menjaga bumi, membangun kesadaran kolektif, dan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perubahan.
Jika istilah “Orang Tertular Geopark” tetap digunakan, maka seharusnya itu hanya disematkan pada mereka yang benar-benar menghidupi nilai-nilai geopark: mencintai alam, menjaga warisan geologi, memberdayakan masyarakat, dan berjuang untuk pembangunan berkelanjutan.
Bukan mereka yang sekadar hadir dalam seminar atas nama geopark dan dibiaya oleh anggaran pemerintah/uang keringat masyarakat, memposting di media sosial, lalu menyebut diri “tertular”.
Tanpa refleksi kritis dan perombakan serius dalam tata kelola, Toba Caldera hanya akan menjadi “geopark di atas kertas” — indah dalam presentasi, kosong di lapangan.
(Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)/Penggiat Lingkungan)