Notification

×

Iklan

Iklan

Danau Toba Merintih, Ekoteologi Menjawab

Rabu, 10 September 2025 | 09:05 WIB Last Updated 2025-09-10T02:07:23Z

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si 

Ketika kabut asap menyelimuti langit Tanah Batak, ketika air Danau Toba yang dahulu bening mulai tercemar oleh limbah rumah tangga, sisa pakan keramba, dan bahan kimia pertanian.

Ketika hutan-hutan di perbukitan yang mengelilinginya berubah menjadi lahan tandus, maka kita tidak sedang menyaksikan krisis teknis semata. Yang terjadi adalah krisis spiritual, krisis moral, dan krisis kemanusiaan.

Banyak orang lupa bahwa kerusakan alam adalah cermin dari kondisi hati manusia. Dalam iman Kristen, manusia bukan diciptakan untuk mengeksploitasi, tetapi untuk menjaga ciptaan. Di sinilah ekoteologi — refleksi iman yang menjawab jeritan bumi — berbicara dengan lantang: mengingatkan manusia akan panggilannya yang kudus dan mendorong pertobatan bukan hanya secara pribadi, tetapi secara ekologis dan sosial.

Jeritan dari Jantung Sumatra

Danau Toba bukan hanya sebuah fenomena geologi; ia adalah nadi kehidupan, tempat sakral, dan ruang budaya yang menyatukan ekosistem dan peradaban. Namun hari ini, kita saksikan kondisi yang sangat memprihatinkan:
Kayu-hutan alam di hulu dan kawasan resapan dibabat, baik melalui izin legal maupun penebangan liar.
Perbukitan dibakar secara berulang, menghanguskan flora dan fauna endemik yang tak tergantikan.
Praktik pertanian dan perkebunan yang intensif menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang mengkontaminasi tanah dan air.
Keramba jaring apung (KJA) yang melebihi daya dukung danau, menyebabkan penumpukan pellet dan merusak kualitas air.
Limbah domestik, oli kapal, sisa bahan kimia bengkel, hotel, homestay, rumah sakit, hingga sampah yang mengalir ke sungai dan masuk ke danau, menciptakan beban toksik bagi ekosistem.
Aktivitas Galian C yang merusak kontur tanah vulkanik khas kawasan ini, memperparah erosi dan degradasi tanah.

Semua ini tidak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga menandai keretakan relasi manusia dengan Tuhan, yang menciptakan bumi bukan sebagai objek eksploitatif, tetapi sebagai taman kehidupan yang kudus.
Ekoteologi Hosea: Alam Merintih karena Dosa Manusia
Dalam kitab Hosea 4:1–3, suara kenabian menyentak:
“... negeri ini berkabung dan semua penghuninya menjadi lemah lesu, bahkan binatang di padang, burung di udara, dan ikan-ikan di laut pun lenyap.”

Kitab ini tidak hanya menyampaikan teguran moral, tetapi juga menunjukkan bahwa dosa manusia menyebabkan penderitaan bagi seluruh ciptaan. Ketika umat melupakan Tuhan, relasi dengan alam pun ikut hancur.

Dalam tafsir klasiknya, Matthew Henry(seorang pendeta Gereja Presbiterian asal Inggris) menegaskan bahwa manusia diberi tugas untuk "mengusahakan dan memelihara taman" (Kejadian 2:15). Ia melihat bahwa kegagalan untuk menjaga ciptaan adalah pengabaian atas mandat ilahi. Bagi Henry, penderitaan makhluk hidup adalah konsekuensi dari kejatuhan manusia yang bukan hanya spiritual, tetapi juga ekologis.

Suara teolog modern pun menegaskan hal yang sama. Francis Schaeffer, seorang pemikir Kristen abad ke-20, secara tajam menyatakan bahwa:"Orang Kristen, dari semua orang, seharusnya tidak menjadi perusak. Kita harus memperlakukan alam dengan rasa hormat yang dalam. Kita tidak menebang pohon hanya untuk menebangnya.".

Schaeffer juga memperkenalkan konsep “substantial healing”, yakni penyembuhan nyata dan mendalam yang terjadi ketika orang percaya mulai memperlakukan ciptaan sebagaimana ciptaan akan dipulihkan kelak di langit dan bumi yang baru: “Francis Schaeffer described the goal of creation care as ‘substantial healing,’ which means we treat creation now as it will be in the new heavens and new earth.”

Dengan kata lain, iman sejati tidak bisa dipisahkan dari tindakan nyata merawat bumi. Jika kita percaya bahwa Tuhan akan memulihkan dunia ini, maka kita dipanggil untuk hidup sejalan dengan visi pemulihan itu — dimulai sekarang.

Suara ekoteologi ternyata juga menggema dari masjid terbesar di Asia Tenggara. Pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 Hijriah yang digelar di Masjid Istiqlal, Jakarta, tanggal 4 September 2025, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, memperkenalkan secara resmi konsep ekoteologi dalam Islam di hadapan Presiden Prabowo Subianto, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan para tokoh lintas agama.

Dalam tausiahnya, Menag menyampaikan bahwa ekoteologi adalah ajakan untuk kembali menyatukan iman dan kepedulian ekologis, menjadikan nilai kasih sayang sebagai dasar keberagamaan, tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam semesta.

Kebijakan dan Kesadaran.

Kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba tidak terjadi dalam ruang hampa. Di satu sisi, kebijakan pemerintah yang belum berpihak pada keberlanjutan lingkungan — seperti lemahnya kontrol izin usaha, absennya evaluasi daya dukung ekologis, dan penegakan hukum yang tidak konsisten — menjadi faktor penyebab.

Di sisi lain, masyarakat pun perlu bercermin. Pembakaran lahan, penggunaan pestisida berlebihan, pembuangan sampah ke sungai/danau, dan ketidaksadaran akan pentingnya menjaga lingkungan menunjukkan bahwa pertobatan ekologis adalah panggilan bersama, tidak hanya bagi penguasa tetapi bagi seluruh warga.
Bumi adalah Rumah.

Ekoteologi memanggil kita untuk memulihkan cara pandang terhadap bumi. Ia bukan ruang mati yang bisa dikuras dan diperas. Bumi adalah rumah — tempat suci yang dititipkan oleh Tuhan kepada kita.

Merusak bumi adalah bentuk pengkhianatan spiritual, bukan hanya kesalahan teknis. Sebaliknya, ketika kita menanam, merawat, dan menjaga, kita sedang memperlihatkan iman yang hidup — iman yang bersatu dengan tanggung jawab ekologis.

Seruan dari Tanah Batak

Tanah Batak kini berseru. Danau Toba tidak boleh menjadi cerita masa lalu. Ia harus tetap hidup, lestari, dan menjadi simbol harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Hari ini, kita semua dipanggil untuk bertobat — dari keserakahan, dari gaya hidup yang merusak bumi, dari ketidakpedulian yang mengabaikan tangisan lingkungan. Jika kita percaya bahwa Tuhan menciptakan bumi dengan kasih, maka tindakan merawat bumi adalah bentuk kasih yang kembali kepada Sang Pencipta.

Bumi tidak menjerit karena kurang doa, tetapi karena terlalu banyak pengabaian. Dan Danau Toba sedang merintih. Jika Anda seorang pemimpin, jadilah teladan. Jika Anda seorang warga, mulailah dari langkah kecil. Jika Anda orang percaya, bertobatlah — dan hiduplah setia, juga kepada bumi. *

(Penulis adalah Penggiat Lingkungan, tinggal di Samosir)


×
Berita Terbaru Update