Notification

×

Iklan

Iklan

Birokrasi Gemuk

Kamis, 04 September 2025 | 10:20 WIB Last Updated 2025-09-04T03:20:23Z

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si


“Pemerintahan yang baik bukan soal besar kecilnya organisasi, tapi soal hasil yang dicapai.” - Osborne & Gaebler, Reinventing Government- David Osborne dan Ted Gaebler.

Pemerintahan baru periode 2024–2029 datang dengan semangat “Merah Putih”. Tapi di balik harapan akan perubahan, masyarakat justru dihadapkan pada kenyataan lama yang membosankan: birokrasi yang lamban, tumpang tindih, dan tidak efisien.

Gelombang unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah tidak hanya soal kebijakan kontroversial. Ia mencerminkan frustrasi publik terhadap sistem pemerintahan yang tidak responsif. Salah satu akar utamanya: birokrasi yang gemuk, rumit, dan sering kali tidak relevan dengan kebutuhan zaman.

Sebagai orang yang pernah bertahun-tahun di dalam birokrasi, saya tahu betul masalahnya. Kita masih punya terlalu banyak lembaga, tetapi koordinasinya lemah. Banyak dinas atau badan dibentuk bukan karena kebutuhan masyarakat, tapi karena kepentingan politik atau anggaran.

Akibatnya, birokrasi terlihat sibuk—dengan laporan, rapat, dan tanda tangan—tapi hasilnya kurang optimal. Di saat rakyat menuntut pelayanan cepat dan digital, birokrasi kita masih berkutat di prosedur manual dan surat menyurat.

Digitalisasi Tak Cukup

Pemerintah memang mendorong digitalisasi melalui program seperti Reformasi Birokrasi Tematik, dengan fokus pada isu seperti pengentasan kemiskinan dan investasi. Tapi selama struktur dan budaya birokrasi tidak berubah, digitalisasi hanya akan menjadi tempelan.

Tanpa perampingan lembaga, penyederhanaan struktur, dan perubahan pola pikir aparatur, semua jargon reformasi hanya akan jadi proyek dokumen.

Reformasi birokrasi selama ini hanya dinikmati segelintir orang di pusat. Istilah seperti “Zona Integritas” atau “Transformasi ASN” terdengar bagus, tapi tidak menyentuh akar persoalan: birokrasi yang takut berubah, terlalu hierarkis, dan tidak punya insentif kinerja yang jelas.

Kita tidak butuh lagi pelatihan yang elitis. Kita butuh keberanian politik untuk merombak birokrasi dari akarnya.


Kita perlu birokrasi yang melayani, bukan menguasai. Yang menghasilkan, bukan hanya melaporkan. Prinsip “Reinventing Government” harus jadi panduan nyata: pemerintah mengemudi arah pembangunan, bukan sekadar mendayung mengikuti arus.

Alarm dari Jalanan

Unjuk rasa adalah alarm. Bukan hanya untuk DPR, tapi untuk seluruh struktur pemerintahan. Kepercayaan publik sedang krisis, dan salah satu penyebabnya adalah birokrasi yang tak kunjung berubah.

Pemerintah “Merah Putih” punya kesempatan langka: menata ulang birokrasi agar lebih ramping, lincah, dan berorientasi hasil.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi? .

(Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)/Penggiat Lingkungan)

×
Berita Terbaru Update