Ketika Danau Toba ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark pada tahun 2020, masyarakat menyambut dengan bangga. Namun, tak sedikit pula yang menyangka bahwa Danau Toba otomatis juga telah menjadi Warisan Dunia atau Cagar Biosfer. Padahal, ketiga skema tersebut adalah tiga jalur berbeda dalam sistem pengakuan UNESCO, dengan pendekatan, kriteria, dan tujuan implementasi yang tidak identik—meskipun saling menguatkan.
Kebingungan publik ini menunjukkan bahwa masih diperlukan edukasi luas tentang bagaimana dunia mengelola kawasan yang dianggap memiliki nilai luar biasa bagi umat manusia dan planet ini. Terlebih, pemahaman yang keliru berpotensi menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan pengelolaan, khususnya ketika suatu kawasan tengah dipersiapkan untuk menyandang lebih dari satu status UNESCO, sebagaimana yang diupayakan oleh Pemerintah Indonesia untuk Danau Toba.
Tiga Jalur Pelestarian
Warisan Dunia (World Heritage Site) berfokus pada perlindungan nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV), baik dari aspek budaya, alam, atau kombinasi keduanya. Skema ini bersifat konservatif, menekankan pelestarian yang ketat, dan memiliki proses evaluasi serta pengelolaan yang kompleks. Danau Toba saat ini masih berada dalam daftar tentatif untuk skema Warisan Dunia.
Sementara itu, Cagar Biosfer (Biosphere Reserve) mengintegrasikan konservasi keanekaragaman hayati dengan pembangunan berkelanjutan dan riset ilmiah, melalui pendekatan zonasi (inti, penyangga, dan transisi). Pendekatan ini menekankan harmoni antara manusia dan alam. Namun hingga kini, Danau Toba belum tercatat dalam jaringan World Network of Biosphere Reserves (WNBR) UNESCO.
Yang ketiga, UNESCO Global Geopark—status yang sudah resmi disandang Danau Toba sejak 2020—berfokus pada pelestarian warisan geologi (geoheritage), edukasi kebumian, dan pembangunan ekonomi lokal berbasis geowisata. Pendekatan ini bersifat partisipatif, dengan masyarakat sebagai subjek aktif dalam pelestarian dan pemanfaatan sumber daya geologi secara berkelanjutan.
Tiga Pendekatan, Satu Tujuan
Ketiganya memang berbeda. Namun bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling melengkapi. Warisan Dunia menegakkan standar tertinggi pelestarian, Cagar Biosfer membangun model kehidupan manusia yang selaras dengan alam, dan Geopark menghidupkan pelestarian melalui partisipasi masyarakat dan wisata berwawasan lingkungan.
Dalam konteks yang lebih luas, ketiga skema ini menjadi satu kesatuan visi global untuk memelihara bumi sebagai warisan bersama umat manusia. Mereka bertemu dalam semangat yang sama: memastikan keberlanjutan planet ini, baik melalui pelestarian budaya, ekologi, maupun geologi. Jika dikelola secara terkoordinasi, ketiganya dapat menghadirkan model pembangunan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan membumi secara sosial.
Tantangan Sinergi Nasional.
Di tingkat nasional, tantangan terbesarnya adalah menyatukan tata kelola lintas sektor dan kelembagaan. Saat ini, skema Warisan Dunia dikoordinasikan oleh Kemendikbudristek dan KLHK, Cagar Biosfer oleh KLHK dan Komite MAB Indonesia, sedangkan Geopark berada di bawah Kemenparekraf, ESDM, serta pemerintah daerah. Belum lagi keterlibatan LSM, akademisi, hingga komunitas lokal.
Tanpa platform koordinasi yang kuat, pengelolaan kawasan berpotensi berjalan dengan orientasi yang terpisah-pisah, bahkan saling berbenturan. Sudah saatnya Indonesia membentuk model multi-skema UNESCO yang terintegrasi, khususnya bagi kawasan strategis seperti Danau Toba, Borobudur, Bromo Tengger Semeru, hingga Raja Ampat.
Penutup
Di tengah krisis lingkungan global, pelestarian warisan bumi bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Dan dalam hal ini, tiga skema UNESCO bukanlah tiga jalan berbeda, melainkan tiga sayap dari visi yang sama—yang saling menopang untuk membawa kita terbang ke masa depan yang lebih lestari dan beradab.
Kuncinya adalah kolaborasi. Antara pemerintah pusat, daerah, lembaga ilmiah, pelaku wisata, dan—yang terpenting—masyarakat lokal. Karena tanpa peran aktif warga sebagai penjaga utama warisan, pengakuan global hanya akan menjadi label tanpa makna.
(Penulis adalah Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)/Penggiat Lingkungan)