Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec., M.Si
"Aku pernah menjadi tempat sakral leluhurmu, kini jadi latar belakang swafoto.Aku masih bernapas—pelan, tapi berharap kalian mendengar jeritanku sebelum aku benar-benar diam."
Aku adalah Danau Toba.
Dulu aku dipuja, disucikan.
Kini aku dijadikan latar.
Nafasku tersengal, tubuhku penuh luka, tapi tak ada
yang sungguh-sungguh mendengarku.
Aku masih memberi—air, udara, keindahan,
kehidupan—meski aku perlahan sekarat.
Kini biarkan aku bicara sebagai anakmu, bukan sebagai
danau itu.
Aku, manusia biasa.
Bukan siapa-siapa. Hanya anak kampung yang dilahirkan dari rahim tanah ini—tanah yang mengandung legenda, air mata, dan harapan.
Tanah yang dulu kami sebut Tanah Leluhur, kini
perlahan berubah menjadi Tanah Terluka.
Danau Toba, ibu kami.
Ia bukan sekadar air yang mengisi kawah.
Ia adalah napas, adalah jiwa, adalah rumah.
Tapi lihatlah dia sekarang—terbatuk, tersengal,
menahan sakit yang tak ia tunjukkan di permukaan.
Pusuk Buhit menangis dibakar api.
Tele, Holbung, Silalahi—hangus tanpa suara.
Langit yang dulu bening kini kelabu.
Awan kehilangan warna putihnya.
Air danau berubah keruh. Bau busuk perlahan jadi
biasa.
Tubuh ibu kami dipenuhi luka yang makin dalam, makin
nyata.
Air gondok menyelimuti permukaannya seperti luka yang
tak diobati.
Industri perikanan menyumbat nadinya.
Pakan ikan buatan mengotori Haranggaol hingga Sualan.
Sementara di darat, hutan ditebang, tanah disemprot
racun, dan limbah dibuang seenaknya—seolah Danau Toba tak lagi bernyawa.
Bahkan tanah vulkanik Samosir—warisan geologis ribuan
tahun—dikuliti ekskavator tanpa ampun.
Seolah tak ada roh di batu.
Seolah tak ada jiwa dalam tanah.
Apakah ini balas budi kita?
Apakah ini yang disebut pembangunan?
Kami tidak anti pada kemajuan.
Tapi kenapa harus dibayar dengan kematian alam kami?
Kami hanya ingin hidup berdampingan, bukan saling
melukai.
Lalu…
Bagaimana caranya manusia meminta maaf pada Danau
Toba?
Bukan dengan pidato.
Bukan dengan festival.
Bukan dengan baliho dan janji.
Tapi dengan menghentikan perusakan itu sekarang juga.
Inilah yang harus kita lakukan:
1. Berhentilah
mengeksploitasi.
Moratorium industri pencemar harus nyata, bukan
basa-basi.
2. Dengarkan
suara masyarakat adat.
Mereka bukan penghalang. Mereka adalah penjaga
terakhir yang setia bahkan saat dunia menutup mata.
3. Pulihkan
yang terluka.
Tanam kembali pohon-pohon yang dibunuh. Bersihkan
danau dari limbah. Rawat tanah seolah ia ibu kandungmu sendiri.
4. Ubah
wajah pariwisata.
Jangan jadikan Danau Toba hanya latar selfie. Ajarkan
arti menghormati. Bangun wisata yang menghidupkan, bukan mematikan.
Aku percaya, Danau Toba masih mau memaafkan. Tapi maaf
itu punya batas.
Ia masih memberi, padahal ia menderita.
Tapi ketika air naik, tanah longsor, dan api tak
kunjung padam—itu bukan bencana.
Itu peringatan. Itu tangis. Itu jeritannya.
Dan jika suatu hari Danau Toba benar-benar diam,
bukan karena ia tenang.
Bukan karena ia telah memaafkan.
Tapi karena ia menyerah.
Dan saat itu datang,
semua permintaan maaf kita takkan lagi berguna.
Karena yang mati bukan hanya danau—
tapi nurani kita sendiri.
(Penulis Adalah Penggiat Lingkungan)