Notification

×

Iklan

Iklan

Dusun Sampean Samosir

Minggu, 10 Agustus 2025 | 17:39 WIB Last Updated 2025-08-10T10:39:51Z

Oleh : Dr.Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.SI


Di sebuah dusun kecil bernama Sampean, di sisi Selatan Kaldera Toba, seorang petani inovatif tengah menulis ulang kisah pembangunan desa. Bukan melalui dana besar atau alat berat, melainkan dengan keberanian mencoba, belajar, dan berinovasi. 

Dari lahan yang selama ini dianggap kurang subur dan tak menjanjikan, lahir gagasan baru: mengintegrasikan pertanian, pariwisata, warisan geologi dunia, serta penelitian dengan penciptaan Agrowisata Nanas Sampean di Desa Sigaol Simbolon, Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir.

Petani yang dimaksud adalah Goksan Simbolon.
Dari Lahan Terabaikan Menjadi Titik Tumbuh

Lahan di sekitar Sampean dan Sigaol kerap diabaikan karena dianggap “sulit digarap.” Kondisinya berbatu, drainasenya menantang, dan tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik. Namun, Goksan melihatnya dari perspektif berbeda. Ia tidak memandang kekurangan, melainkan peluang untuk belajar dan berinovasi. 

Ia mulai mengolah tanah dengan pendekatan lokal—menyesuaikan jenis tanaman dengan kondisi geologi, mengatur sistem drainase, serta menambah unsur organik secara bertahap.

Pilihan utama jatuh pada nanas—tanaman tropis yang terbukti mampu tumbuh di tanah dengan karakteristik khas pascavulkanik. Hasilnya bukan hanya panen, tetapi juga perubahan pola pikir. Kebun nanas miliknya kini bukan sekadar ladang, melainkan ruang belajar, tempat wisata, sekaligus lokasi berbagi inspirasi.
“Saya tidak ingin lahan kami hanya jadi pemandangan. Lebih baik menjadi harapan,” ujar Goksan kepada penulis.
 
Geowisata: Alam, Edukasi, Penelitian, dan Konservasi
Inisiatif ini membuka pintu bagi pengembangan geowisata berbasis masyarakat. Geowisata bukan hanya soal menikmati keindahan alam, melainkan memahami proses geologi dan budaya yang membentuk suatu kawasan. 

Kaldera Toba—hasil letusan supervulkanik sekitar 74.000 tahun, dan Toba "Resurgent Doming" atau pembubungan dasar kaldera membentuk Pulau Samosir di tengah Danau pada proses geologi yang terjadi setelah letusan besar Gunung Toba sekitar 74.000 tahun yang lalu, yang menyebabkan dasar kaldera terangkat.—adalah salah satu warisan geologi terpenting di dunia. Dan Sampean, bersama Sigaol, berdiri tepat di atas bagian dari kisah itu.

Kini, kebun nanas Goksan menjadi titik awal “tur kaldera mini”: pengunjung dapat mengenal jenis batuan, memahami aliran air hangat alami, mendaki punggung kaldera ringan, sambil belajar teknik bertani adaptif terhadap tanah vulkanik. Kebun nanas ini juga menjadi ruang penelitian berbasis vulkanologi Toba sekaligus model konservasi sebagai pilar geopark, yang secara langsung menggerakkan ekonomi lokal secara berkelanjutan. 

Lebih jauh lagi, kebun ini berperan sebagai model percontohan pertanian dan perkebunan masyarakat lokal yang dapat menjadi laboratorium dan workshop bagi petani sekitar untuk mengembangkan sektor pertanian Kabupaten Samosir dan tujuh kabupaten lainnya di kawasan Toba Caldera UNESCO Global Geopark ke depan.

Ini bukan sekadar wisata, tapi edukasi hidup yang melibatkan warga, mahasiswa, pelancong, dan peneliti.

Di sela panen, Goksan tidak hanya menghasilkan nanas segar, tapi juga mengembangkan berbagai produk turunan yang menambah nilai ekonomi dan memperkaya pengalaman wisatawan. Produk-produk tersebut meliputi nanas kalengan dalam bentuk irisan atau potongan, jus nanas segar, selai dan marmalade nanas, sirup dan konsentrat nanas, manisan kering, produk fermentasi seperti nata de pina, serta olahan kuliner seperti pie nanas dan saus nanas. 

Bahkan, limbah kulit nanas dimanfaatkan untuk produksi serat tekstil bernama piña fiber. Dengan diversifikasi produk ini, tanah di tangan warga bukan hanya menjadi sumber pangan, tapi juga cerita dan peluang usaha yang berkelanjutan.

Menyelaraskan dengan Visi Nasional

Apa yang dilakukan Goksan selaras dengan kebijakan nasional. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi (Geopark), pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan konservasi, edukasi, dan ekonomi rakyat harus diperkuat. 

Sementara itu, Permenparekraf No. 2 Tahun 2020 menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat, pemerintah daerah, dan akademisi dalam menjadikan geopark sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan.

Goksan mungkin belum mempelajari dokumen-dokumen tersebut secara detail, namun melalui tindakannya, ia telah mempraktikkan esensi tersebut: menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan, dengan alam sebagai panggung, dan inovasi sebagai alat.

Belajar dari Dunia, Bertumbuh dari Desa

Model agrowisata-geowisata ini mengingatkan pada praktik terbaik dunia: di Batur Geopark Bali, warga menyambut wisatawan di kebun kopi sambil menjelaskan aktivitas vulkanik Gunung Batur; di Langkawi Geopark Malaysia, komunitas lokal menjadi pemandu batuan dan legenda setempat; di Costa Rica, kebun nanas menjadi sarana edukasi lingkungan tropis dan pelestarian tanah.

Yang menarik, semua berawal dari langkah kecil: keberanian mencoba dan keyakinan bahwa desa bukan tempat tertinggal, melainkan tempat utama memulai perubahan.

“Kalau wisatawan bisa datang ribuan kilometer untuk melihat Kaldera Toba, mengapa kita yang tinggal di sini tidak mulai bergerak?” kata Goksan dalam diskusi kami.

Masa Depan Geowisata Dimulai dari Desa

Sampean tidak kekurangan sumber daya alam. Ia memiliki Danau Toba yang membentang bak cermin, tebing kaldera yang menjulang megah terlihat di depan, dan budaya Batak yang kaya. Kini yang dibutuhkan adalah langkah terarah agar potensi tersebut berkembang secara lestari:
Pemetaan titik-titik geologi edukatif yang mudah diakses
Pengembangan jalur wisata tematik seperti “Jalur Nanas & Kaldera”
Pelatihan warga sebagai pemandu geowisata lokal
Kemitraan dengan perguruan tinggi dan komunitas, serta dunia pariwisata dan perhotelan
Dukungan infrastruktur dan promosi dari pemerintah daerah serta Badan Pelaksana Geopark Kaldera Toba
Dengan skema ini, geowisata bukan lagi wacana, melainkan jalan hidup baru bagi desa-desa sekitar Danau Toba.

Penutup: Dari Sampean, untuk Indonesia

Yang tumbuh di Sampean bukan sekadar nanas. Namun juga harapan, keberanian, dan visi baru pembangunan desa. Jika satu kebun dapat menjadi sumber inspirasi dan perubahan, bayangkan jika setiap desa di Kaldera Toba menemukan potensinya sendiri.

Geowisata bukan milik investor, dalam rangka skema Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) maupun Food Estate yang saat ini diintroduser oleh pemerintah. Ia adalah milik warga yang mencintai desanya dan mau belajar dari alamnya. Sampean—desa kecil di selatan Kaldera—telah membuktikan bahwa masa depan bisa dimulai dari satu orang yang berani mencoba, lalu mengajak orang lain berjalan bersama.

(Penulis adalah, Pencinta dan penggiat lingkungan di kawasan Danau Toba)

×
Berita Terbaru Update