Penerapan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tujuh kabupaten sekitar Danau Toba – Toba, Samosir, Simalungun, Humbang Hasundutan, Karo, Dairi, dan Tapanuli Utara – seharusnya menjadi alarm peringatan keras, bukan sekadar simbolik atau administratif. Faktanya, meskipun status siaga telah diterapkan, kebakaran masih terus terjadi, bahkan semakin meluas, khususnya di wilayah Kabupaten Samosir.
Ini membuktikan bahwa kesiapsiagaan dan koordinasi antarlembaga belum optimal. Lebih jauh lagi, teknologi seperti rekayasa cuaca belum menunjukkan keefektifan yang nyata. Apakah kita akan terus menonton lahan pertanian dan perbukitan serta hutan kita menjadi abu sebelum bertindak sungguh-sungguh?
Krisis Koordinasi dan Minimnya Pencegahan
Kebakaran hutan dan lahan bukan semata-mata akibat cuaca ekstrem, tetapi juga dampak dari buruknya pencegahan, lemahnya penegakan hukum, kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya dan dampak kebakaran Karhutlah dan rendahnya edukasi publik. Di lapangan, belum terlihat adanya langkah terintegrasi yang benar-benar mencegah kebakaran sejak dini. Respons masih bersifat reaktif, sementara potensi kebakaran masih sangat besar, terutama di lahan-lahan yang belum terbakar.
Salah satu wilayah yang kini berada di ambang bahaya adalah bagian Selatan Gunung Pusuk Buhit, yang merupakan kawasan sakral dan bernilai geologis dan ekologis tinggi. Demikian pula, masih banyak wilayah lain di ketujuh kabupaten yang belum tersentuh api namun sangat rentan. Jika tidak ada gerak cepat dan sistematis untuk menyelamatkan area ini, kita akan kehilangan lebih banyak lagi hutan, keanekaragaman hayati, dan kehidupan masyarakat yang bergantung padanya.
Urgensi Tindakan Preventif: Selamatkan yang Masih Bisa Diselamatkan
Langkah penyelamatan yang serius dan terencana secara cepat harus menjadi prioritas utama. Pemerintah daerah dan pusat, bersama TNI/Polri, relawan, dan masyarakat, harus mengidentifikasi kawasan-kawasan yang masih utuh dan rentan terbakar, lalu mengambil tindakan pencegahan aktif, seperti:
• Membuat jalur sekat bakar (firebreak) untuk membatasi penyebaran api.
• Menempatkan pos pemantauan di titik-titik rawan.
• Melakukan pendinginan lahan kering dengan rekayasa air darurat.
• Meningkatkan patroli rutin dan patroli drone.
• Melibatkan masyarakat lokal sebagai penjaga hutan dengan insentif sosial dan ekonomi.
Jika tidak dilakukan dalam hitungan hari, kita akan menyaksikan semakin luasnya kawasan hijau yang berubah menjadi lanskap terbakar. Jangan tunggu Pusuk Buhit menjadi sejarah.
Peran Masyarakat dan Tokoh Agama: Saatnya Turun Tangan
Kita tidak bisa menyerahkan semua pada pemerintah. Penanggulangan karhutla adalah tanggung jawab kolektif. Masyarakat harus menjadi garda terdepan dalam mencegah dan melaporkan potensi kebakaran. Di sisi lain, tokoh agama, tokoh adat, dan komunitas spiritual harus berani menyuarakan bahwa menjaga alam adalah perintah moral dan spiritual.
Gunung Pusuk Buhit, sebagai salah satu situs sakral dalam budaya Batak, seharusnya menjadi simbol bahwa alam adalah warisan leluhur yang suci dan harus dilindungi, bukan dikorbankan.
Seruan Tegas kepada Semua Pihak
1. Pemerintah (Pusat dan Daerah):
Bentuk satuan tugas khusus untuk menyelamatkan wilayah-wilayah yang belum terbakar, dengan pendanaan darurat dan keterlibatan lintas sektor.
2. Aparat Penegak Hukum:
Tegakkan hukum tanpa kompromi. Jangan ada toleransi terhadap pembakaran, baik oleh individu maupun korporasi.
3. Tokoh Agama dan Adat:
Jadikan isu karhutla sebagai bagian dari dakwah, khotbah, dan penyuluhan adat. Ajarkan bahwa membakar hutan adalah tindakan merusak ciptaan Tuhan.
4. Masyarakat:
Waspada dan aktif. Lindungi hutan seperti melindungi rumah dan keluarga sendiri. Laporkan setiap aktivitas mencurigakan.
5. Media dan Akademisi:
Kawal terus peristiwa ini. Dorong transparansi, pengawasan, dan advokasi publik agar tidak terjadi pengulangan di masa depan.
Kesimpulan: Jangan Biarkan Api Menjadi Takdir Danau Toba
Apa yang terjadi hari ini adalah konsekuensi dari kelalaian kolektif. Tapi belum terlambat untuk berubah. Jika kita bertindak cepat, terkoordinasi, dan sungguh-sungguh, masih ada harapan menyelamatkan kawasan Danau Toba dari kehancuran ekologis total.
Kita tidak butuh lebih banyak wacana. Kita butuh tindakan.
(Penulis adalah, salah seorang Penggiat Lingkungan/Ketua Pergerakan Penyelamatan Kawasan Danau Toba)