Oleh:
Drs. H. Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Sebagai wakil rakyat, anggota dewan di semua
tingkatan wajib menyuarakan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. Hal itu
menjadi bagian dari sumpah yang diucapkannya ketika ia dilantik. Oleh karena
itu, tidak salah jika masyarakat mempertimbangkan "perjuangan" setiap
anggota dewan ketika yang bersangkutan mencalonkan diri pada pilkada atau
pemilu berikutnya.
Sebagai wakil rakyat, anggota dewan --yang biasa
disapa dengan sebutan "Yang Terhormat"-- harus mencermati setiap
kebijakan yang diambil sesuai tingkatannya. Dengan demikian, ia baru dapat
dikatakan berperan serta secara aktif dalam kebijakan di tempatnya bertugas.
Tanpa itu, ia dianggap hanya sebagai "pelengkap" semata. Makin banyak
anggota dewan bersikap seperti itu, makin melekatlah stempel bahwa wakil rakyat
hanya menjadi tukang stempel.
Wakil rakyat di daerah, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota bersama gubernur/bupati/wali kota merupakan penyelenggara
pemerintahan di wilayahnya. itulah yang dieksplisitkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Jadi, kemajuan sebuah wilayah
tergantung pada kesepakatan keduanya.
Sebagai wakil rakyat, anggota dewan memiliki tiga
fungsi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan bahwa DPRD mempunyai fungsi pembentukan perda, penganggaran, dan
pengawasan.
Jawa Barat sebagai sebuah provinsi juga terkena
aturan yang sama. Namun ada cerita menarik ketika pandemi corona virus desease
(covid-19) terjadi. Seiring kebijakan pemerintah pusat, semua kepala daerah
diberi otoritas penuh untuk melakukan refocusing kegiatan sekaligus realokasi
anggaran. Itu artinya, para kepala daerah diberi otonomi penuh terkait
perubahan APBD.
Landasan yuridisnya adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020
Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Desease-19. Perppu tersebut kemudian
diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Jawa Barat pun, untuk pertama kalinya, melakukan
perubahan APBD murni hingga lima kali. Semua perubahan itu dikaitkan dengan
penanggulangan wabah yang semula berasal dari Wuhan-Cina tersebut. Perubahan
tersebut menggeser alokasi anggaran di semua organisasi perangkat daerah (OPD)
yang jumlahnya triliunan rupiah. Untuk apa? Penanganan kesehatan dan jaring
pengaman sosial (social safety net).
Jawa Barat, seperti halnya beberapa daerah lain,
tergolong daerah yang terdampak covid-19 cukup parah. Di sisi lain banyak
program/kegiatan yang masih membutuhkan pembiayaan. Di tengah kondisi itu, PT
Sarana Multi Infrasruktur (SMI), salah satu perusahaan plat merah di bawah
Kementerian Keuangan, menawarkan utang untuk mengatasi fiscal gap tersebut.
Jadilah pertama kali dalam sejarah ada nomenklatur
baru dalam struktur APBD: Pinjaman Daerah alias utang. Sejatinya utang tersebut
dilakukan dalam konteks pemulihan ekonomi nasional (PEN). Sekali lagi, Jabar
ditawari utang karena dianggap terdampak covid-19 cukup parah.
Ada satu faktor lagi sebenarnya yang membuat utang
itu terjadi, yakni kepala daerah dan DPRD-nya menerima tawaran utang tersebut.
Andai satu dari dua pihak itu tidak mau menerima berutang --sebagaimana yang
terjadi di Jawa Tengah-- pasti tak akan ada nomenklatur Utang dalam APBD Jabar.
Sayangnya hal itu tidak terjadi. Namun, tidak berarti keputusan tersebut tanpa
perdebatan alot.
Konsekuensinya, dalam APBD Jabar --minimal 8 tahun
ke depan-- akan tertera nomenklatur Pengembalian Pinjaman Daerah. Tenor
pengembalian itu sesuai dengan kesepakatan antara Pemprov Jabar dan PT SMI.
Utang Jabar ke PT SMI secara total Rp
4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah). Utang tersebut terbagi dua: Rp 1,8
triliun untuk APBD perubahan 2020 dan Rp 2,2 triliun untuk APBD murni tahun
2021.
Semua kegiatan yang dibiayai utang pasti menjadi
bagian dari APBD, yang dibahas di Badan Anggaran dan disepakati di rapat
paripurna. Oleh karena itu, fungsi anggaran DPRD mestinya dijalankan secara
cermat. sayangnya, dengan alasan waktu yang sangat mepet, hal itu juga tidak
terjadi.
Awas, hati-hati dengan utang
Mengapa kita harus hati-hati dengan utang PEN?
Paling tidak ada dua alasan mendasar. Pertama, utang pasti harus dibayar.
Apapun yang terjadi, utang harus dikembalikan kepada si pemberi utang. Kedua,
andai pekerjaannya mangkrak, pekerjaan itu tidak memberi manfaat apapun bagi
masyarakat. Lagi-lagi padahal biaya sudah dikeluarkan. Jadi, semua kegiatan
yang dibiayai utang harus diawasi dengan ekstra ketat.
Sebenarnya ada satu hal mendasar yang selalu penulis
sampaikan dalam banyak kesempatan. Utang itu diberikan dalam terminologi PEN:
pemulihan ekonomi nasional, dalam hal ini ekonomi Jawa Barat. Artinya,
program/kegiatan yang dibiayai utang PEN semestinya diarahkan untuk pemulihan
ekonomi Jawa Barat. Dengan demikian, kita mesti berkhidmat hanya pada tujuan
tersebut.
Di sini letak fungsi pengawasan yang dimiliki dewan
harus dibuktikan. Pengawasan tersebut harus dilakukan ekstra ketat karena utang
harus dikembalikan. Utang tersebut juga akan menjadi beban seluruh rakyat Jawa
Barat, termasuk gubernur dan DPRD berikutnya.
Semoga semua membawa manfaat. Wallahu a'lam
bishawab.