Danau Toba adalah mahkota Nusantara. Lebih dari sekadar danau vulkanik terbesar di dunia, ia adalah simbol kebesaran alam, sumber kehidupan bagi jutaan manusia, dan pusat peradaban Batak. Dari tahun ke tahun, mahkota ini mulai kusam.
Keindahan permukaannya kerap menipu: di balik airnya yang menawan, ekosistemnya perlahan merosot. Keramba jaring apung yang berlebihan, limbah domestik dan industri, sedimentasi akibat penebangan pohon—baik oleh perusahaan yang memiliki izin maupun oknum yang beroperasi ilegal—semua telah merusak keseimbangan alami danau.
Jika kondisi ini dibiarkan, Danau Toba akan menjadi sejarah suram bagi generasi mendatang, dan kita, masyarakat saat ini, akan mencatat kegagalan terbesar terhadap alam dan identitas budaya Batak.
Kerusakan yang terjadi bukan semata-mata akibat fenomena alam. Ia adalah konsekuensi dari pembangunan tanpa etika ekologis. Keramba jaring apung yang masif, misalnya, mempercepat eutrofikasi, menurunkan kualitas air, dan membahayakan keanekaragaman hayati.
Penebangan hutan—baik legal maupun ilegal—mengikis penyangga tanah dan sungai, meningkatkan risiko longsor dan sedimentasi, serta mengurangi daya dukung ekosistem. Limbah rumah tangga dan industri menambah beban pencemaran, mengancam ikan endemik, dan merusak keseimbangan ekologis yang telah terbentuk ribuan tahun.
Sudah saatnya kita mengambil sikap tegas: Danau Toba dan seluruh kawasan sekitarnya harus menerapkan prinsip ZERO.
• Zero keramba jaring apung, untuk memulihkan kualitas air dan kehidupan ikan endemik.
• Zero penebangan pohon, untuk menjaga hutan penyangga, mencegah longsor, dan menstabilkan ekosistem.
• Zero limbah dalam bentuk apa pun, dari domestik hingga industri, untuk melindungi air dan kesehatan masyarakat.
Ini bukan slogan kosong. Tanpa langkah drastis, rehabilitasi ekologis hanya akan menjadi mimpi. Penanaman satu miliar pohon di kawasan tangkapan air harus menjadi program prioritas nasional, bukan sekadar proyek simbolik.
Hutan yang sehat akan menjaga kualitas tanah, mengurangi erosi, menstabilkan iklim mikro, dan menjadi habitat alami bagi fauna endemik. Begitu pula, penebaran satu miliar bibit ikan endemik yang dilakukan secara ilmiah, terencana, dan berkelanjutan adalah keharusan untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem dan meningkatkan ketahanan pangan lokal.
Namun langkah ekologis semata tidak cukup. Danau Toba membutuhkan tata kelola yang tegas, integratif, dan berjangka panjang. Oleh karena itu, pembentukan UU Otorita Danau Toba menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditunda.
UU ini akan memberikan kewenangan terpusat, lintas sektoral, dan berjangka panjang, sehingga pengelolaan danau tidak lagi terpecah-pecah, setengah hati, atau dipengaruhi kepentingan sesaat. Dengan UU ini, perlindungan danau dapat dijalankan secara menyeluruh: mulai dari konservasi hutan, pengaturan pariwisata, pengendalian limbah, hingga pemberdayaan masyarakat adat dan lokal.
Selain itu, praktik penebangan pohon tanpa izin atau ilegal harus dihentikan secara permanen. Perusahaan maupun oknum yang melanggar wajib bertanggung jawab penuh, baik secara hukum maupun ekologis.
Tidak ada toleransi bagi siapa pun yang merusak masa depan Danau Toba demi keuntungan sesaat. Penegakan hukum yang konsisten harus dipadukan dengan edukasi lingkungan, agar masyarakat memahami bahwa setiap tindakan merusak hutan atau danau berarti meniadakan hak generasi mendatang untuk hidup sehat dan sejahtera.
Pariwisata, yang selama ini menjadi mesin ekonomi kawasan, juga harus direstrukturisasi agar berkelanjutan. Model pariwisata massal harus diganti dengan pariwisata ramah lingkungan, melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton.
Semua aktivitas wisata harus mematuhi prinsip zero kerusakan, dan hasilnya sebagian harus dikembalikan untuk konservasi. Dengan begitu, ekonomi dan ekologi berjalan seiring, bukan saling menggerogoti.
Refleksi ini bukan untuk menyalahkan masa lalu, tetapi untuk menegaskan tanggung jawab kita sekarang. Jika kita bertindak tegas, Danau Toba masih bisa pulih, lestari, dan memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal, budaya, dan generasi yang akan datang. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa kita diberi amanah, tetapi gagal menjaganya.
Danau Toba membutuhkan revolusi ekologis, bukan kompromi. Waktu terus berjalan, dan setiap hari tanpa tindakan berarti semakin dekat pada kerusakan permanen.
Tidak ada lagi ruang untuk setengah hati, untuk toleransi terhadap praktik merusak, atau untuk kebijakan yang hanya menenangkan hati sementara. Saatnya bertindak nyata, sekarang, demi alam, budaya, dan masa depan anak cucu kita.
Horas untuk Danau Toba! Horas untuk alam!
(Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI) / Penggiat Lingkungan)
