Notification

×

Iklan

Iklan

Ambisi Geopark dalam RPJMN 2025–2029

Rabu, 24 September 2025 | 10:42 WIB Last Updated 2025-09-24T03:42:22Z


Oleh: Dr.Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.Si

 

Masuknya pengembangan Geopark dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)2025–2029 menunjukkan bahwa pemerintah telah menempatkan geopark sebagai bagian penting dari strategi pembangunan berkelanjutan Indonesia.

 

Dengan mengaitkannya ke dalam tiga prioritas nasional—pelestarian keanekaragaman hayati, penguatan ekonomi hijau dan biru, serta pengembangan pariwisata berkualitas—geopark diposisikan sebagai model sinergi antara konservasi dan ekonomi.

Namun, di balik narasi besar ini, terdapat kegelisahan yang tak bisa diabaikan: ketidakjelasan dukungan anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih menjadi masalah serius yang berpotensi menggagalkan implementasi seluruh agenda ambisius tersebut.

 

Ketidakpastian Anggaran

 

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pengelola Geopark di daerah tidak memiliki anggaran tetap untuk operasional, pengembangan infrastruktur, edukasi, maupun promosi. Banyak pengelola bergantung pada kreativitas untuk mencari dukungan melalui CSR, dana hibah, atau bahkan iuran sukarela dari komunitas.

 

Padahal, status geopark—baik nasional maupun UGGp—menuntut standar pengelolaan yang tinggi, termasuk aspek konservasi ilmiah, program edukatif, serta pelibatan masyarakat dalam ekonomi lokal.

 

Ketiadaan nomenklatur atau pos anggaran khusus dalam struktur APBD juga memperparah situasi. Pemerintah daerah sering kali kesulitan mengalokasikan dana untuk geopark karena tidak ada dasar hukum atau kerangka kerja yang jelas dari pemerintah pusat. Akibatnya, pengelolaan geopark cenderung bersifat ad hoc, tanpa kepastian pembiayaan jangka panjang.

 

RPJMN 2025–2029:

 

Bagaimana target ambisius peningkatan jumlah UNESCO Global Geopark (dari 12 pada 2025 menjadi 17 pada 2029) dapat dicapai tanpa adanya dukungan anggaran yang nyata dan terstruktur?.

 

Jika tidak segera dibenahi, pengembangan geopark berisiko menjadi proyek simbolik—ditampilkan dalam laporan pembangunan, namun rapuh dalam praktiknya. Pemerintah pusat perlu lebih dari sekadar mencantumkan geopark dalam dokumen RPJMN; komitmen anggaran harus ditunjukkan dalam bentuk alokasi APBN yang jelas, mekanisme transfer ke daerah, serta panduan penganggaran dalam APBD.

Selain itu, penting untuk:

         Menyusun peta jalan pendanaan geopark nasional yang melibatkan kementerian teknis, Bappenas, dan Kementerian Keuangan;

         Mendorong lahirnya Peraturan Presiden atau regulasi turunan RPJMN yang mengatur pembiayaan geopark secara khusus;

         Memastikan adanya indikator kinerja berbasis pendanaan, bukan hanya kuantitas geopark yang diakui UNESCO.

 

Tanpa langkah nyata ini, target geopark hanya akan menjadi angka di atas kertas. Yang lebih memprihatinkan, beban akan terus dilimpahkan ke pemerintah daerah dan komunitas lokal, yang selama ini sudah bekerja keras tanpa dukungan struktural memadai.

 

Jika pemerintah sungguh-sungguh menempatkan Geopark sebagai pilar pembangunan berkelanjutan, maka komitmen itu harus dibuktikan melalui dukungan anggaran yang adil, konsisten, dan dapat dipertanggungjawabkan. Tidak cukup hanya dengan menetapkan target kuantitatif. Kualitas pengelolaan geopark, keberlanjutan ekosistemnya, dan kesejahteraan masyarakat lokal hanya akan tercapai jika tersedia pendanaan yang mencukupi dan mudah diakses.

 

Tanpa itu semua, Geopark hanya akan menjadi wacana indah dalam RPJMN, namun kehilangan daya dorong sebagai kekuatan transformasi nyata bagi pembangunan Indonesia.

 

(Penulis, adalah: Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS_GI)/Penggiat Lingkungan).

×
Berita Terbaru Update