Oleh: Dr.Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl_Ec.,M.Si
Masuknya pengembangan Geopark dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)2025–2029 menunjukkan bahwa
pemerintah telah menempatkan geopark sebagai bagian penting dari strategi
pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Dengan mengaitkannya ke dalam tiga prioritas
nasional—pelestarian keanekaragaman hayati, penguatan ekonomi hijau dan biru,
serta pengembangan pariwisata berkualitas—geopark diposisikan sebagai model
sinergi antara konservasi dan ekonomi.
Namun, di balik narasi besar ini, terdapat kegelisahan yang tak bisa diabaikan: ketidakjelasan dukungan anggaran, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih menjadi masalah serius yang berpotensi menggagalkan implementasi seluruh agenda ambisius tersebut.
Ketidakpastian Anggaran
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar
pengelola Geopark di daerah tidak memiliki anggaran tetap untuk operasional,
pengembangan infrastruktur, edukasi, maupun promosi. Banyak pengelola
bergantung pada kreativitas untuk mencari dukungan melalui CSR, dana hibah,
atau bahkan iuran sukarela dari komunitas.
Padahal, status geopark—baik nasional maupun
UGGp—menuntut standar pengelolaan yang tinggi, termasuk aspek konservasi
ilmiah, program edukatif, serta pelibatan masyarakat dalam ekonomi lokal.
Ketiadaan nomenklatur atau pos anggaran khusus dalam
struktur APBD juga memperparah situasi. Pemerintah daerah sering kali kesulitan
mengalokasikan dana untuk geopark karena tidak ada dasar hukum atau kerangka
kerja yang jelas dari pemerintah pusat. Akibatnya, pengelolaan geopark
cenderung bersifat ad hoc, tanpa kepastian pembiayaan jangka panjang.
RPJMN 2025–2029:
Bagaimana target ambisius peningkatan jumlah UNESCO
Global Geopark (dari 12 pada 2025 menjadi 17 pada 2029) dapat dicapai tanpa
adanya dukungan anggaran yang nyata dan terstruktur?.
Jika tidak segera dibenahi, pengembangan geopark
berisiko menjadi proyek simbolik—ditampilkan dalam laporan pembangunan, namun
rapuh dalam praktiknya. Pemerintah pusat perlu lebih dari sekadar mencantumkan
geopark dalam dokumen RPJMN; komitmen anggaran harus ditunjukkan dalam bentuk
alokasi APBN yang jelas, mekanisme transfer ke daerah, serta panduan
penganggaran dalam APBD.
Selain itu, penting untuk:
• Menyusun
peta jalan pendanaan geopark nasional yang melibatkan kementerian teknis,
Bappenas, dan Kementerian Keuangan;
• Mendorong
lahirnya Peraturan Presiden atau regulasi turunan RPJMN yang mengatur
pembiayaan geopark secara khusus;
• Memastikan
adanya indikator kinerja berbasis pendanaan, bukan hanya kuantitas geopark yang
diakui UNESCO.
Tanpa langkah nyata ini, target geopark hanya akan
menjadi angka di atas kertas. Yang lebih memprihatinkan, beban akan terus
dilimpahkan ke pemerintah daerah dan komunitas lokal, yang selama ini sudah
bekerja keras tanpa dukungan struktural memadai.
Jika pemerintah sungguh-sungguh menempatkan Geopark
sebagai pilar pembangunan berkelanjutan, maka komitmen itu harus dibuktikan
melalui dukungan anggaran yang adil, konsisten, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Tidak cukup hanya dengan menetapkan target kuantitatif.
Kualitas pengelolaan geopark, keberlanjutan ekosistemnya, dan kesejahteraan
masyarakat lokal hanya akan tercapai jika tersedia pendanaan yang mencukupi dan
mudah diakses.
Tanpa itu semua, Geopark hanya akan menjadi wacana
indah dalam RPJMN, namun kehilangan daya dorong sebagai kekuatan transformasi
nyata bagi pembangunan Indonesia.
(Penulis, adalah: Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia
(PS_GI)/Penggiat Lingkungan).