Kawasan Danau Toba telah lama dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, bukan hanya karena keindahan panoramanya, tetapi juga karena kedalaman sejarah, nilai budaya, dan identitas masyarakat Batak yang telah mengakar selama berabad-abad.
Kini, kawasan ini telah menyandang dua status penting sekaligus: Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) dan bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) sejak tahun 2020.
Namun, di tengah komitmen pemerintah mempercepat pembangunan kawasan, muncul wacana penerapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di sekitar Danau Toba. Ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah KEK merupakan langkah yang tepat dan sejalan dengan semangat keberlanjutan dan konservasi kawasan ini, atau justru sebuah langkah prematur yang bisa membawa risiko besar?.
Janji Manis KEK di Atas Kertas
Secara konseptual, KEK menawarkan serangkaian keuntungan. Mulai dari pembebasan pajak, kemudahan perizinan, hingga pembangunan infrastruktur yang menjanjikan peningkatan investasi domestik dan asing.
Dalam konteks Danau Toba, pengembangan industri pariwisata dan ekonomi kreatif di bawah skema KEK dipandang sebagai peluang untuk mengatasi stagnasi ekonomi, menciptakan lapangan kerja, mendorong hilirisasi produk lokal, hingga memperkuat daya saing ekspor.
Di beberapa wilayah lain, KEK terbukti mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi regional. Dalam hal ini, Danau Toba pun memiliki modal besar: keunikan geologis sebagai kaldera vulkanik raksasa, warisan budaya masyarakat Batak, dan posisi strategis dalam peta pariwisata nasional. Jika dikelola secara kontekstual dan inklusif, KEK bisa menjadi instrumen penguatan ekonomi lokal tanpa merusak karakter kawasan.
Tapi Apa Risikonya?
Namun, mimpi ekonomi ini tak lepas dari risiko serius. Danau Toba adalah kawasan ekosistem yang sangat sensitif. Ia bukan sekadar tempat wisata, melainkan sebuah sistem ekologis dan budaya yang saling terhubung. KEK yang berbasis industrialisasi besar, terutama bila diterapkan secara tergesa-gesa, dapat mengakibatkan:
• Degradasi lingkungan akibat pembangunan masif yang tidak ramah lingkungan (hotel, pelabuhan, akses transportasi berat).
• Alih fungsi lahan tanpa kontrol sosial yang memadai, yang bisa merusak bentang alam dan sistem hidrologi danau.
• Kesenjangan sosial ekonomi, di mana hanya segelintir pihak yang menikmati manfaat KEK, sementara masyarakat lokal yang belum siap secara modal dan keterampilan justru terpinggirkan.
• Perubahan nilai dan identitas budaya, ke arah yang lebih materialistis dan mengikis nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Batak.
• Konflik agraria, terutama karena masih banyaknya tanah ulayat yang tidak memiliki perlindungan hukum yang jelas.
Bertabrakan dengan Semangat Geopark
Yang paling mengkhawatirkan: KEK berpotensi bertabrakan langsung dengan prinsip geopark. Sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark, kawasan Danau Toba wajib dikembangkan berdasarkan tiga pilar utama: konservasi warisan geologis, edukasi publik, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal secara berkelanjutan.
Model KEK yang terlalu berorientasi pada efisiensi ekonomi dan investasi besar jelas bertentangan dengan semangat pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) yang menjadi roh dari geopark. Jika KEK dikembangkan dengan logika pasar semata, tanpa pelibatan masyarakat adat dan perlindungan terhadap hak-haknya, kita justru sedang menjauh dari komitmen geopark yang selama ini dijunjung.
KEK Bukan Solusi Instan
Penerapan KEK bukanlah langkah instan untuk membawa kesejahteraan. Ia memerlukan prasyarat sosial dan kelembagaan yang kuat: regulasi yang berpihak pada rakyat, transparansi perizinan, tata kelola lingkungan yang ketat, serta pelibatan penuh masyarakat lokal dalam seluruh proses.
Tanpa itu semua, KEK di Danau Toba bisa menjadi proyek mercusuar yang hanya menguntungkan elite tertentu, sembari meninggalkan jejak kerusakan sosial dan ekologis yang mendalam dan sulit diperbaiki.
Sudah Saatnyakah?
Jawabannya: belum.
Penerapan KEK di Danau Toba bukan mustahil, tapi jelas belum tepat waktu—kecuali semua prasyarat keadilan, keberlanjutan, dan perlindungan budaya benar-benar terpenuhi.
Sebagai alternatif, pendekatan yang lebih relevan saat ini adalah memperkuat ekosistem ekonomi pariwisata berbasis masyarakat, meningkatkan kapasitas lokal, serta membangun infrastruktur yang tidak mengorbankan lingkungan dan identitas budaya. Pendekatan ini tidak hanya lebih sejalan dengan prinsip geopark, tetapi juga menjamin bahwa manfaat pembangunan benar-benar dirasakan oleh masyarakat sekitar, bukan oleh pihak luar semata.
UNESCO telah memberikan kita panggung dunia. Tapi panggung itu juga menuntut tanggung jawab moral dan ekologis yang besar. Jika kita gagal menjaganya, maka bukan hanya status geopark yang hilang, tapi juga harga diri dan warisan masa depan kawasan Danau Toba itu sendiri.
(Penulis adalah, Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan)