Danau Toba bukan sekadar danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara, melainkan pusaka ekologis dan spiritual masyarakat Batak. Namun kini, pusaka ini berada dalam ancaman nyata. Airnya mulai keruh, hutannya terbakar, dan musim kering berkepanjangan memperparah krisis yang mengancam dari hulu hingga hilir.
Perubahan warna air danau serta kematian massal ikan yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir adalah sinyal darurat ekologis. Profesor Ternala Alexander Barus, guru besar limnologi dari Universitas Sumatera Utara, menjelaskan bahwa angin dan perputaran massa air dari dasar danau membawa senyawa beracun seperti amoniak, H₂S, dan belerang ke permukaan.
“Kondisi ini menyebabkan kadar oksigen di air turun drastis hingga di bawah 2 mg/liter, mematikan bagi biota,” ujarnya kepada Kompas.
Kondisi makin genting akibat musim kemarau berkepanjangan yang menyebabkan permukaan air danau menyusut dan debit sungai-sungai kecil di sekelilingnya—khususnya di Pulau Samosir—hampir kering.Di banyak desa seperti Ronggurnihuta, Palipi, Onan Runggu, Harian, dan Pangururan, masyarakat kini mengalami krisis air bersih untuk kebutuhan mandi, cuci, kakus (MCK), bahkan air minum.
Warga terpaksa menggali lubang atau membeli air dari luar dengan biaya tinggi. Ternak kekurangan air, dan tanaman hortikultura gagal panen karena tidak lagi mendapat pasokan dari mata air tradisional yang kini mengering.
Ironisnya,pemerintah daerah dan sebagian pejabat publik cenderung menyederhanakan masalah ini sebagai gejala alam, menyebutnya sebagai “bencana iklim” atau “perubahan cuaca ekstrem.” Padahal, publik menyaksikan bahwa krisis ini merupakan akumulasi dari kerusakan ekosistem dan kegagalan tata kelola lingkungan, yang berlangsung lama dan tanpa koreksi.
Penebangan hutan alam terus terjadi di wilayah Hulu Toba. Sejak Juni, kebakaran hutan melanda lebih dari 1.800 hektare kawasan lereng ; Pusuk Buhit, Tele, Harian, Sitio-tio, Dolok Tolong, Sibodiala, Bakkara, dan Silalahi, Tongging, Haranggaol. Vegetasi hulu sebagai penahan air dan penjaga ekosistem kini nyaris hilang. Sedimentasi dari lahan terbuka masuk ke danau, memperparah kekeruhan dan mempercepat pendangkalan.
Masalah ini sesungguhnya telah diingatkan sejak lama. Pada 1989, Kementerian Pertanian RI bekerja sama dengan Asian Development Bank dan konsultan Hansoning Royal Dutch mengeluarkan dokumen teknis Unit Land Sheet Sidikalang (618).
Dokumen itu menegaskan bahwa wilayah hulu Danau Toba adalah zona tangkapan air yang harus dilindungi ketat. Selain itu, kajian Hutchinson (1975) menyebut bahwa idealnya luas daerah tangkapan air (DTA) lima kali luas danau. Fakta di lapangan: DTA Danau Toba saat ini bahkan kurang dari tiga kali luas permukaan danau. Ini mengganggu siklus hidrologi dan daya tampung ekologis.
Lebih buruk lagi, penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan pada pertanian, serta teknik pembakaran sisa tanaman seperti jagung setelah panen, mempercepat pencemaran air dan udara. Limbah tersebut terakumulasi di air dan menyebabkan eutrofikasi, merusak status danau sebagai perairan oligotrofik yang jernih dan rendah nutrien.
Dalam situasi ini, pemerintah tidak boleh terus berlindung di balik narasi cuaca ekstrem. Perlu kesadaran bahwa krisis ini bukan semata karena perubahan iklim, tetapi karena degradasi ekologis akibat aktivitas manusia dan lambatnya tindakan pemerintah dalam mitigasi dan adaptasi.
Sebagian besar intervensi masih bersifat reaktif, tidak antisipatif. Modifikasi cuaca walaupun terlambat memang dilakukan, tetapi itu hanya menyasar gejala, bukan akar masalah. Padahal, masyarakat lokal, penggiat lingkungan, jurnalis lingkungan, dan akademisi telah lama mengusulkan langkah-langkah sistemik berbasis ekoregion dan budaya lokal.
Langkah yang harus segera diambil adalah:
1. Moratorium total konversi lahan di wilayah hulu dan zona resapan.
2. Reboisasi dengan vegetasi asli dan pelibatan masyarakat adat.
3. Larangan pembakaran lahan pertanian secara tegas dan konsisten.
4. Restorasi sumber air dan perlindungan mata air tradisional.
5. Revitalisasi forum multipihak dengan akuntabilitas publik.
6. Implementasi kembali dokumen Hansoning 1989 sebagai dasar kebijakan
ruang.
Danau Toba bukan hanya lanskap, melainkan hidup itu sendiri bagi jutaan orang. Ketika masyarakat kehilangan air bersih, kehilangan pangan, dan hidup dalam ketakutan karena longsor dan kebakaran, maka itu bukan sekadar persoalan lingkungan—itu adalah ancaman kemanusiaan.
Kini saatnya bagi pemerintah provinsi dan kabupaten untuk berhenti menyangkal dan mulai bertindak berdasarkan ilmu pengetahuan, bukan sekadar politisasi alam. Jika tidak, kita akan menyaksikan pusaka alam ini menuju kehancuran yang tak terpulihkan.
“Sai horas ma hutan, sai horas ma aek, sai horas ma tano Batak”—adalah doa yang kini menunggu dijawab, bukan dengan kata-kata, tapi dengan kebijakan, ketegasan, dan aksi nyata.
(Penulis adalah,Pegiat Lingkungan/Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia)